Showing posts with label Al Islam. Show all posts
Showing posts with label Al Islam. Show all posts

Wednesday, August 19, 2009

Meraih Sukses Selama Ramadhan

. Wednesday, August 19, 2009
3 comments

[Al-Islam 469] Ramadhan 1430 H sebentar lagi datang. Orang Mukmin manapun tentu sangat gembira menyambut datangnya bulan Ramadhan. Betapa tidak, Ramadhan adalah bulan agung, penuh berkah dan kemuliaan. Di dalamnya, secara khusus Allah SWT mewajibkan orang Mukmin berpuasa agar menjadi orang yang bertakwa. Tentu kegembiraan seorang Mukmin dalam menyambut Ramadhan dilandasi oleh hasrat untuk meraih segala keagungan, kemuliaan dan keberkahannya; juga dilandasi oleh kerinduan untuk memproses diri menjadi orang yang bertakwa demi meraih surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan yang memang telah disiapkan untuk orang-orang yang bertakwa.


Rasul menyatakan bahwa orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan:

«لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانٍ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ»

Orang yang berpuasa berhak mendapatkan dua kegembiraan: jika berbuka, ia bergembira; jika bertemu Rabb-nya, ia juga bergembira karena puasanya (HR al-Bukhari, Muslim, Ibn Majah, an-Nasa’i dan Ahmad).

Kegembiraan menyambut Ramadhan ibaratnya hanyalah pembuka untuk lebih merasakan kegembiraan di bulan Ramadhan dan menyambut kegembiraan yang hakiki di akhirat kelak. Kegembiraan menyambut Ramadhan hakikatnya adalah gembira karena bisa segera berpuasa. Dengan puasa itu orang Mukmin berpeluang mendapatkan keutamaan yang terkandung di dalamnya dan pahala sangat yang besar dari amalan puasa itu sendiri. Rasulullah saw. bersabda:

«كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ، اَلْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِيْ، وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ»

Setiap amal anak Adam dilipatgandakan; satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa sampai tujuh ratus kali. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya… (HR Muslim, an-Nasai, ad-Darimi dan al-Baihaqi).

Selain itu, dengan puasa Ramadhan seorang Mukmin juga berpeluang mendapat ampunan atas dosanya yang di masa lalu. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاِحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Siapa saja yang berpuasa Ramadhan dengan dilandasi iman dan bersungguh-sungguh mencari ridha Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu (HR al-Bukhari, an-Nasai, Ahmad, Ibn Majah dan Ibn Hibban).

Namun, semua keutamaan di bulan Ramadhan itu belum tentu bisa kita raih secara optimal. Ramadhan itu ibarat proses; output (hasil)-nya akan sangat dipengaruhi oleh input (masukan)-nya dan proses yang berlangsung. Untuk meraih kesuksesan pada bulan Ramadhan kita harus memperhatikan dan menyiapkan input dan proses selama Ramadhan. Dari sisi persiapan, ada tiga hal yang perlu dipersiapkan. Pertama: persiapan ilmu. Walaupun puasa Ramadhan sudah kita jalani setiap tahun, kita perlu mengkaji kembali hukum-hukum, ketentuan puasa dan semua amal yang terkait. Kajian kembali terhadap semuanya itu bisa saja mendatangkan pemahaman yang lebih dalam dan lebih kuat, sehingga kita bisa menjalankan puasa dan amal-amal Ramadhan itu secara lebih mantap. Lebih dari itu, pengkajian kembali itu akan menciptakan kesadaran baru atau memperbarui kesadaran untuk melaksanakan puasa. Dengan begitu, puasa Ramadhan dan seluruh amal yang ada di dalamnya tidak akan dijalani sekadar ritual rutin tahunan, karena hakikat puasa adalah penghambaan dan pengorbanan untuk Allah. Dengan bekal ilmu itu, kita akan lebih berhati-hati menjalani puasa dan semua amal lain, disertai kesadaran sedang menjalankan ibadah kepada Allah. Dengan begitu kita akan senantiasa merasa berhubungan dengan Allah SWT.


Kedua: persiapan aspek ruhiah dan upaya “memperbarui” keimanan. Ini perlu agar kita memasuki bulan Ramadhan betul-betul dengan sepenuh keimanan dan kesadaran melaksanakan perintah Allah; penuh dengan kesungguhan untuk menggapai keridhaan-Nya serta berharap betul untuk mendapatkan ampunan-Nya. Sebab, keberhasilan proses selama Ramadhan itu memang bergantung pada landasan iman dan niat semata-mata untuk mencari ridha Allah. Allah sendiri menyerukan kewajiban berpuasa itu kepada orang-orang yang beriman (QS al-Baqarah [2]: 183). Artinya, hanya mereka yang menjalani puasa dengan landasan iman —juga yang selama berpuasa Ramadhan dan melaksanakan amal-amal di dalamnya diliputi oleh suasana keimanan saja— yang akan berhasil meraih output sebagai insan takwa. Hal itu juga ditegaskan dalam hadis Rasul di atas.


Ketiga: perencanaan proses. Kita perlu menyiapkan program Ramadhan dan apa saja yang akan kita kerjakan selama bulan Ramadhan. Dengan begitu, tidak ada kesempatan yang terabaikan dan Ramadhan bisa kita jalani secara maksimal. Bagus kiranya dibuat rencana, jadwal dan programnya; juga tolok ukur dan pengawasan atas capaiannya serta solusi-solusi alternatifnya. Dengan begitu amal ibadah dan peningkatannya akan lebih disiplin. Sebab, sekecil apapun suatu aktivitas —apalagi amal besar— jika dijalankan secara langgeng dan disiplin, hasilnya tentu akan luar biasa. Dalam bahasa hadis, amal yang kontinu (terus-menerus), sekalipun kecil, adalah amal yang terbaik dan dicintai Allah.


Inti dari amalan-amalan Ramadhan itu adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Bisa jadi banyak dari kaum Muslim yang memahami taqarrub itu hanya terkait dengan amal ibadah ritual saja, atau bahkan hanya terkait dengan ibadah-ibadah sunnah saja. Hal itu bisa jadi karena keawaman dan kekurangilmuan mereka; bisa jadi pula karena paham Sekularisme —pemisahan agama (Islam) dari kehidupan— yang tanpa disadari telah tertanam dalam diri mereka. Bahkan Sekularisme itu tanpa disadari telah dijadikan dasar untuk memahami ajaran Islam.


Kesuksesan menjalani proses selama Ramadhan hanya akan bisa kita raih jika pemahaman tentang Sekularisme itu kita tanggalkan dan kita tinggalkan, kemudian kita mengambil Islam secara utuh sebagai sebuah sistem kehidupan.

Taqarrub kepada Allah sebagai inti dari amalan Ramadhan banyak bentuknya. Amalan pokoknya selama Ramadhan tentu saja adalah puasa itu sendiri. Namun, di luar itu banyak kegiatan taqarrub lainnya yang mesti dilakukan selama Ramadhan. Rasulullah saw. bersabda:

« … وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ … »

Tiadalah seorang hamba bertaqarrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang aku fardhukan atasnya. Tiadalah hamba-Ku terus-menerus bertaqarrub kepada-Ku dengan amal-amal sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat; menjadi tangannya yang dia gunakan untuk memegang dengan kuat; dan menjadi kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Jika ia meminta kepada-Ku, niscaya dia Aku beri; jika ia meminta perlindungan-Ku, niscaya dia Aku lindungi… (HR al-Bukhari).

Jadi, ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana dijelaskan dalam hadis di atas adalah dengan melaksanakan semua yang difardhukan oleh Allah dan menambahnya dengan senantiasa berupaya melaksanakan amal-amal sunnah. Tentu kita tidak boleh keliru dengan lebih mengedepankan amal-amal sunnah dan menilainya sebagai taqarrub yang mesti diutamakan seraya mengabaikan amal-amal yang wajib.


Jelas sekali, aktivitas taqarrub yang paling dicintai oleh Allah adalah semua aktivitas yang difardhukan kepada kita, yang tentu tidak terbatas hanya aktivitas ibadah saja. Justru aktivitas fardhu di luar ibadah jauh lebih banyak jumlahnya.


Semua yang difardhukan itu meliputi seluruh kewajiban yang telah ditetapkan dalam Islam. Agar semua itu bisa terlaksana dengan sempurna, kuncinya adalah dengan menerapkan syariah Islam yang dijalankan oleh kekuasaan yang menjadikan kedaulatan hanya di tangan syariah. Dengan kata lain, wajib bagi seorang imam atau khalifah yang dibaiat oleh kaum Muslim untuk menerapkan syariah Islam dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia. Adanya imam atau khalifah yang dibaiat umat merupakan kewajiban yang dibebankan di atas pundak kita. Sebab, Rasul saw. telah menggambarkan siapa saja yang mati, sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat kepada imam/khalifah, maka matinya seperti mati Jahiliah. Adanya imam atau khalifah inilah yang menentukan kesempurnaan pelaksanaan semua kewajiban di dalam agama ini. Karena itu, sungguh tepat jika para ulama menilai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah merupakan salah satu kewajiban paling agung di dalam agama ini.


Amal-amal Ramadhan, khususnya puasa, sejatinya membangkitkan dan menumbuhkan kesadaran untuk menghambakan diri hanya kepada Allah SWT. Kesadaran ini begitu kuat dibangun selama Ramadhan dan harus terus dihidupkan usai Ramadhan sebagai bukti keberhasilan proses selama Ramadhan itu.

Orang yang berpuasa dan tetap berupaya menjaga puasanya semata-mata karena mengharap keridhaan Allah, biasanya tidak bergantung pada kehadiran siapapun kecuali kesadaran selalu diawasi oleh Allah SWT. Spirit yang dibentuk oleh puasa ini tentu akan menjadi modal sangat berharga untuk mewujudkan penghambaan diri hanya kepada Allah di luar aktivitas puasa, yaitu dalam bentuk amal keseharian di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini penerapan syariah untuk mengatur segala aspek kehidupan di masyarakat sejatinya merupakan wujud penghambaan kepada Allah secara nyata dan kolektif.


Karena itu, perjuangan mewujudkan penerapan syariah secara kaffah merupakan perhargaan terhadap proses dan capaian pada bulan Ramadhan sekaligus upaya untuk menjadikannya tetap hidup pasca Ramadhan. Selain itu dakwah dan perjuangan mewujudkan penerapan syariah dan Khilafah merupakan bagian dari aktivitas taqarrub yang paling utama dan agung.


Karena itu, aktivitas perjuangan dakwah untuk mewujudkan penerapan syariah secara kaffah merupakan aktivitas yang wajib ada di dalam daftar aktivitas Ramadhan, bahkan selayaknya menjadi aktivitas utama selama Ramadhan.

Wahai Kaum Muslim:

Sudah saatnya kita mempersiapkan dan mejalani Ramadhan dan puasa di dalamnya tidak seperti biasanya yang sudah lalu, yaitu dengan menjalankan berbagai aktivitas taqarrub yang utama dan agung itu. Itulah aktiviats untuk menegakkan syariah dan Khilafah. Aktivitas itu pulalah yang bisa menjadikan Ramadhan tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya; mengokohkan posisi kita mulia di hadapan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin; sekaligus akan dicatat dengan tinta emas dalam lembaran sejarah. []


KOMENTAR:


Saatnya Ulama Mengubah Kondisi Umat (Republika.co.id, 15/08/09)

Kondisi umat bisa diubah jika ulama bersatu memperjuangkan tegaknya syariah dan khilafah.



Powered by ScribeFire.

Klik disini untuk melanjutkan »»

Thursday, June 25, 2009

Krisis Ekonomi Dunia Belum Berakhir

. Thursday, June 25, 2009
0 comments


[Al-Islam 461] Akhir-akhir ini media Barat memberitakan prakiraan sejumlah perusahaan yang mengatakan, bahwa tahap paling kritis dari krisis keuangan telah berlalu; juga bahwa perekonomian beberapa negara Barat telah mulai memperlihatkan tanda-tanda pemulihan ekonomi. Berbagai laporan media itu menyebutkan pendapat beberapa ahli ekonomi, para politisi dan pelaku bursa. Mereka menyatakan, naiknya kembali harga minyak menandakan bahwa perekonomian global telah sampai pada titik terendahnya dan mulai pulih, yang mendorong harga minyak terus merangkak naik.


Benarkah perekonomian sudah mulai pulih? Tentu salah jika pulihnya perekonomian hanya dilihat dengan memperhatikan sinyal-sinyal keuangan, seperti naiknya harga minyak dan harga komoditi di pasar global. Tentu kita harus memperhatikan tingkat produksi perusahaan-perusahaan, total GDP, angka pengangguran, harga barang-barang konsumsi, besaran belanja rumah tangga dan perusahaan, jumlah kredit perumahan dan pengumuman kebangkrutan yang terus terjadi pada perusahaan raksasa seperti General Motors dll; juga gejala-gejala perekonomian lainnya.


Dengan memperhatikan semua itu akan tampak jelas bahwa di seluruh dunia belum ada tanda-tanda pemulihan ekonomi! Kami akan menyebutkan beberapa buktinya:



1. Kondisi perekonomian Amerika.

Angka pengangguran di AS mencapai 8,9%, tertinggi sejak 26 tahun lalu. Tingkat pendapatan nasional menurun 6,1% pada kuartal pertama tahun ini. Supaya tingkat penjualan sebanding dengan jumlah barang, perusahaan mengurangi penawaran barang ke pasar sampai pada angka terendah sejak Perang Dunia II. Penurunan penawaran itu setara dengan 103,7 miliar dolar AS pada kuartal pertama tahun 2009. Sebelumnya, pada kuartal terakhir tahun 2008, penawaran itu telah menurun senilai 25,8 miliar dolar AS. Investasi di AS juga menurun 38% dalam satu tahun. Ekspor barang dan jasa pada kuartal pertama tahun 2009 menurun 30%. Sebelumnya, pada kuartal terakhir 2008 ekspor AS telah menurun 23,6%. Angka kegagalan kredit akibat ketidakmampuan melunasi kredit pada bulan Maret 2009 meningkat hingga 341.180. Angka itu naik 17% dari bulan Februari 2009, dan naik 46% dari bulan Maret 2008.


Selain itu, Pemerintah AS telah menyuntikkan uang miliaran dolar pada bank-bank yang ambruk dan perusahaan-perusahaan yang terlilit utang.


2. Kondisi perekonomian Jerman.

Angka pengangguran di Jerman mencapai 8,2%, tertinggi sejak Perang Dunia II. Kantor Perburuhan Federal pada tanggal 28 Mei 2009 menyatakan, bahwa rata-rata pemutusan hubungan kerja (PHK) bertambah. Hal itu di luar pengurangan jam kerja harian untuk mengurangi tingkat pengangguran. Pengamat ketenagakerjaan Anders Reese telah mencatat bahwa statistik pengangguran telah dimanipulasi supaya tampak sebaliknya dan supaya kelihatan membaik pada bulan Juni.


Sektor manufaktur Jerman juga mengalami penurunan sekitar 58% pada bulan April dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun lalu. Angka itu merupakan penurunan terbesar sektor ini sejak didirikan. Organisasi industri-industri berat mengatakan bahwa telah terjadi penurunan permintaan global sebesar 60% dan permintaan lokal sebesar 52%. Sebagian pengamat ekonomi malah lebih pesimis daripada pemerintah.


3. Kondisi perekonomian Eropa secara umum.

Penjualan eceran menurun drastis pada bulan April 2009 karena tingginya angka pengangguran. Artinya, konsumen secara bersama-sama mengurangi belanja mereka. Nik Kounis, kepala ekonom Eropa di Fortis Bank Netherland mengatakan di Amsterdam, “Menurut Komisariat Eropa, angka pengangguran di Eropa pada bulan Maret 2009 naik sampai 8,9%, tertinggi sejak tiga tahun. Angka pengangguran tahun depan akan terus naik sampai 9,9% dan mencapai 11,5% pada tahun 2010. Menurut Komisariat Eropa, perekonomian kawasan Eropa akan mengalami penurunan sebesar 4% pada tahun ini. Hal itu disebabkan oleh turunnya ekspor dan pemutusan hubungan kerja oleh sejumlah perusahaan.”


4. Kondisi perekonomian Jepang.

Angka pengangguran di Jepang pada bulan April 2009 mencapai 5%, tertinggi sejak lima tahun terakhir. Dalam laporan bulanan Departemen Dalam Negeri dan Komunikasi dinyatakan bahwa terdapat 3,46 juta pengangguran. Jumlah itu naik 25,8% dibandingkan dengan April tahun lalu. Dinyatakan juga bahwa hanya ada 46 pekerjaan bagi setiap 100 orang pencari kerja. Ini adalah angka terburuk sejak tahun 1999.


Rata-rata belanja rumah tangga pada bulan April menurun 1,3% dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu. Produk domestik bruto Jepang mengalami penurunan 10%. Penurunan total PDB Jepang sejak bulan Januari sampai bulan Maret menciptakan perlambatan ekonomi terburuk sejak tahun 1947. Glenn Maguire, kepala ekonom di Societe Generale Asia Pasifik mengatakan, bahwa secara umum perlambatan 10% pertumbuhan dinilai sebagai resesi. Jepang hampir sampai pada batas itu dengan menurunnya perekonomian Jepang sebesar 9,7% pada tahun ini.


5. Kondisi perekonomian global.

Menurut New York Times, perekonomian negara-negara berkembang telah melalui kuartal paling buruk sejak satu dekade lalu. Kondisi yang lebih buruk akan datang. Total produk domestik bruto tiga puluh negara yang tergabung di dalam OECD mengalami penurunan 2,1% pada kuartal pertama tahun ini dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Produk domestik bruto negara-negara anggota OECD mengalami penurunan 2% pada kuartal terakhir tahun 2008.


Menurut Bank Dunia, perekonomian negara-negara anggota OECD mencakup 71% dari total produksi nasional secara global. Perekonomian negara-negara OECD pada kuartal pertama tahun 2008 menurun 4,2%. Dari angka itu, Amerika turut andil 0,9%, Jepang 1%, 13 negara terbesar kawasan Euro sebesar 1,3% dan negara-negara lainnya 1%.


Semua itu menunjukkan fakta sebenarnya bahwa kondisi perekonomian global belum pulih dari krisis, bahkan masih akan terus didera krisis.


Lalu mengapa terjadi kenaikan di pasar saham dan pasar barang dan jasa? Jawabannya, kenaikan itu disebabkan hal-hal berikut:

Pertama, suntikan dana yang dilakukan pemerintah AS kepada perusahaan asuransi AIG sebesar US$ 173 miliar yang diambil dari uang para pembayar pajak AS. Dari jumlah itu, 90 miliar dibelanjakan untuk membayar utangnya ke perbankan Amerika dan Eropa. Pada tanggal 15 Maret 2009, AIG telah mendistribusikan uang ke sejumlah bank dan institusi: Bank Goldman mendapatkan US$ 12,9 miliar; Bank Merrill Lynch US$ 6,8 miliar; Bank of America US$ 5,2 miliar; Citigroup US$ 2,3 miliar; Bank Wachovia US$ 1,5 miliar; Bank Barclays US$ 8,5 miliar; dan UBS Swiss mendapat US$ 5 miliar.


Supaya pemerintah AS tidak terkesan membantu perusahaan AIG secara langsung karena khawatir akan menimbulkan kemarahan masyarakat, AIG mentransfer dana itu ke berbagai bank. Berikutnya bank-bank itu mengumumkan keuntungannya. Misalnya, Bank of America mengumumkan keuntungannya sebesar US$ 4,2 miliar, Citigroup US$ 1,6 miliar dan Goldman Sachs US$ 1,8 miliar. Di Eropa Barclays Bank mengumumkan keuntungannya sebesar 5,28 miliar pounsterling. Akhirnya, harga-harga saham pun terkerek naik. Sebenarnya kenaikan harga-harga saham itu bukan karena aktivitas ekonomi yang menghasilkan keuntungan, tetapi karena suntikan dana yang pengaruhnya hanya sebentar.


Kedua, pada awal tahun ini, pemerintah AS mengumumkan programnya untuk menopang bank-bank Amerika. Tujuan pengumuman itu adalah untuk menyebarkan kepercayaan para investor bank-bank Amerika untuk memberikan sugesti bahwa bank-bank itu dalam kondisi baik dan tidak sedang mengalami kesulitan besar. Program itu, sebagaimana sebelumnya telah dijelaskan oleh Menteri Keuangan AS Timothy Geitner, adalah untuk memberikan kesan bahwa mayoritas aset bank yang mengamali kesulitan bisa dikeluarkan dari daftar neraca.


Kondisi-kondisi dan berbagai pernyataan itu menyebabkan naiknya harga-harga saham perbankan Amerika. Harga saham Bank Wells Fargo naik 8,5%, Morgan Stanley naik 0,9%, Bank of America naik 4% dan Citigroup naik 7%. Jelas, apa yang terjadi ini mirip dengan dukungan propaganda opini untuk menaikkan saham tertentu seperti yang dilakukan oleh para spekulan yang sengaja menyebarkan berita tentang kemajuan kondisi ekonomi suatu perusahaan, atau peluang kemajuan perusahaan itu. Lalu berita itu menyebabkan bertambahnya kepercayaan dan menaikkan harga saham perusahaan tersebut. Kemudian setelah tujuan para spekulan itu tercapai, harga saham itu pun turun kembali dan bahkan ambruk. Hal itu seperti yang terjadi pada sebab-sebab munculnya krisis saat ini.


Ketiga, pada awal tahun ini The Fed (Bank Sentral AS) dan Bank of England (Bank Sentral Inggris) masing-masing mengumumkan rencana untuk mulai membeli aset-aset beracun milik berbagai bank, surat-surat utang dan aset-aset lembaga keuangan yang ambruk. Pertambahan jumlah uang yang dipompakan ke pasar secara alami pasti menyebabkan inflasi dan naiknya harga-harga barang dan jasa. Sebab, bertambahnya uang yang ditawarkan akan melemahkan daya belinya dan berikutnya terjadi inflasi, yaitu kenaikan harga-harga barang dan jasa. Bank of England mulai menampakkan keterkejutannya atas naiknya angka inflasi yang menyebabkan penderitaan ekonomi; perekonomian Inggris sendiri berada pada titik terendah sejak tahun 1930. Angka inflasi mencapai 2,9% jauh lebih tinggi daripada angka yang diperkirakan sebelumnya, yaitu 2%. Inilah yang bias menjelaskan mengapa harga minyak naik dari US$ 36 perbarel menjadi US$ 58 perbarel. Artinya, kenaikan harga minyak tidak menunjukkan bahwa permintaannya bertambah. Konsumsi energi pada tahun 2009 justru menurun untuk pertama kalinya sejak PD II. Hal itu menunjukkan dengan jelas bahwa perekonomian global masih jauh dari pulih.


Dengan demikian, pembicaraan tentang pulihnya perekonomian Barat adalah terlalu dini. Pemerintah Barat mengadopsi kebijakan menurunkan tingkat suku bunga dan membeli aset-aset beracun hanya untuk menunda ambruknya perekonomian. Bisa jadi pemerintah Barat justru akan menenggelamkan pasar uang ke kubangan inflasi. Ambruknya pasar barang dan munculnya gelembung mata uang yang bisa meletus menyebabkan penderitaan terbesar yang disaksikan oleh dunia saat ini.


Khatimah

Seluruh paparan di atas semakin membuktikan bahwa bangunan ekonomi Kapitalisme selama ini memang rapuh. Hal ini semakin meneguhkan bahwa bangunan apapun—termasuk ‘bangunan’ sistem ekonomi—yang tidak didasarkan pada takwa (baca: syariah Islam), pastilah rapuh dan pasti suatu saat akan runtuh. Mahabenar Allah SWT Yang berfirman:

أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (١٠٩)
Apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengannya ke dalam Neraka Jahanam? Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS at-Taubah [9]: 109). []

Komentar al-islam: 

Michael Buriyev: Khilafah Islam, Satu Dari 5 Negara Besar Masa Depan (Hizb-ut-tahrir.info, 18/06/09).

Bahkan insya Allah Khilafah akan menjadi satu-satunya yang terbesar di dunia!




Powered by ScribeFire.

Klik disini untuk melanjutkan »»

Thursday, June 18, 2009

Syariah dan Khilafah: Jalan Baru Untuk Indonesia Lebih Baik

. Thursday, June 18, 2009
0 comments

[Al-Islam 460] Hiruk-pikuk kampanye Pilpres 2009 mulai digelar. Rakyat disuguhi berbagai iklan dan orasi politik capres / cawapres. Para capres / cawapres berbusa-busa menawarkan janji, saling serang kelemahan lawan; juga membuat pernyataan, opini dan klaim keberhasilan.


Pada saat yang sama, kebanyakan raktyat negeri ini masih dililit dengan berbagai persoalan. Contoh kecil adalah penderitaan dan nestapa yang menimpa Siti Hajar (33). TKI di Malaysia yang berasal dari Limbangan Garut Jawa Barat itu terluka parah akibat siraman air panas dan dipukuli majikannya. Baru saja kasus ini masuk proses penyidikan, polisi menemukan kasus yang tidak kalah memilukan: Nurul Widayanti TKI asal Desa Dindeen, Wadungan, Ngawi, Jatim tewas tergantung di rumah orangtua majikannya, juga di Malaysia. Sangat mungkin, derita yang sama—yang tidak diekspos—juga banyak dialami oleh TKI lainnya yang tersebar di kawasan Asia Pasifik (351.966) dan Timur Tengah (343.487) berdasarkan data tahun 2007 (Kompas, 15/6/09).


Masalah juga banyak muncul di ranah hukum dan peradilan. Seorang Ibu, Prita Mulyasari, ditahan Kejaksaan hanya karena mengeluhkan pelayanan baik RS Omni Internasional Alam Sutra, Serpong melalui surat elektronik ( email ). Ia dianggap mencemarkan nama baik rumah sakit tersebut. Penahanan prematur yang tidak memenuhi prosedur hukum ini juga mengingatkan kasus yang sering terjadi menimpa rakyat yang belum melek hukum. Tahun lalu terungkap kasus pembunuhan mutilasi berantai Ryan yang juga pelaku pembunuhan Moh Asrori, 24, warga Desa Kalangsemanding, Kecamatan Perak, Jombang. Dalam kasus ini, polisi telah melakukan salah tangkap terhadap Imam Khambali alias Kemat, Devid Eko Priyanto dan Sugik. Mereka telah terlanjur divonis masing-masing 17 dan 12 tahun atas kasus ’pembunuhan Asrori’ di kebun tebu.


Duka juga menyapa TNI. Banyak anggota TNI gugur bukan di medan perang, melainkan menjadi korban Alutsista yang sudah “ usang kadaluwarso ”. Dalam sepekan dua pesawat Heli jatuh. Yang terbaru adalah Helikopter Puma SA-330 dengan nomer registrasi HT 3306 yang jatuh pada hari Jumat (12/6) sekitar pukul 14.13 WIB di daerah Atang Sanjaya Bogor. Kecelakaan ini mengakibatkan gugurnya empat orang TNI dan tiga lainya luka serius. Tentu ironis. TNI, institusi yang menjadi pilar tegaknya negeri yang sangat luas teritorialnya ini, hanya memiliki peralatan tempur dan anggaran ala kadarnya.


Masalah lainnya, isu Ambalat kembali mencuat. Kedaulatan Indonesia pun rentan terkoyak. Seperti yang sudah terjadi, Indonesia ‘ kalah ’ oleh Malaysia dalam kasus sengketa “ Sipadan - Ligitan ”, yang kini sudah berada dalam pangkuan Malaysia. Sebelumnya, Timor-Timor lepas dari kesatuan negeri ini. Peluang itu bisa berulang di bagian timur Indonesia ( Maluku, Papua ) maupun barat Indonesia ( Aceh ) jika Pemerintah tetap tidak serius menjaga kedaulatan negeri ini.


Di sektor keuangan, Indonesia juga menjadi negara yang tidak pernah merdeka dari jeratan hutang dan bunganya. Pada Desember 2003 posisi hutang Indonesia adalah Rp 1.275 triliun. Pada Januari 2009, hutang Indonesia membengkak menjadi Rp 1.667 triliun. Jumlah tersebut, jika dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia, menjadi Rp 7,7 juta perkepala. Selama kepemimpinan SBY-JK, hutang meningkat hampir 13% (Rp 400 triliun) hanya dalam kurun waktu empat tahun, yakni naik sekitar Rp 80 triliun pertahun. Inilah “ prestasi hutang ” terbesar dari pemerintahan SBY-JK dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Jelas, angka ini tidak sebanding dengan anggaran untuk sektor yang menyangkut hajat asasi hidup rakyat seperti pertanian ( Rp 8 triliun ), pendidikan ( Rp 62 triliun ), kesehatan ( Rp 20 triliun ), kementerian lingkungan hidup ( Rp 376 miliar ). Sementara itu, dalam APBN 2009, untuk membayar hutang tersebut dianggarkan dana sebesar Rp 162 triliun.


Yang lebih parah, dalam dokumen yang ditemukan INFID, program BLT yang diklaim sebagai program hasil rancangan Pemerintah Indonesia ternyata ada dalam dokumen Bank Dunia. Dalam “ Document Policy Loan (DPL) ” Bank Dunia, program BLT tersebut didukung oleh ADB ( Asian Development Bank ) dan Jepang, dan ini adalah program Bank Dunia ( Media Indonesia, 15/6 ).


Ini tentu ironis. Pasalnya, Pemerintah ternyata memberikan “ uang cuma-cuma ” kepada sebagian rakyat dari hasil hutang luar negeri yang juga harus ditanggung rakyat. Dengan kata lain, sebagian rakyat yang mendapatkan BLT sebesar Rp 300 ribu setiap tiga bulan, ternyata sekaligus diberi beban hutang oleh Pemerintah sebesar Rp 7,7 juta perkepala.


Kepedulian Musiman

Bagaimana sikap penguasa terhadap borok-borok yang bermunculan silih berganti ini ? Ternyata kepedulian penguasa dan elit politik hanya bersifat musiman. Rakyat hanya diperhatikan setiap menjelang Pemilu dan Pilpres. Ironisnya, derita rakyat sekadar dieksploitasi ramai-ramai sekadar untuk mendongkrak popularitas dan perolehan suara di Pilpres 2009.


Pertanyaannya, akankah pergantian kepemimpinan Indonesia 2009 membawa perubahan bagi rakyat ? Mampukah penguasa baru membawa Indonesia menjadi negara yang merdeka dari penjajahan ekonomi, politik, hukum dan budaya ? Bisakah sekadar pergantian sosok pemimpin menjadi satu-satunya solusi bagi Indonesia untuk mengatasi krisis multidemensi yang kronis ini ?

Sekularisme: Akar Masalah

Lebih dari setengah abad Indonesia merdeka dari penjajahan fisik. Namun, hingga kini mayoritas rakyatnya tidak hidup dalam kebaikan; kebanyakan mereka miskin, bodoh, dan teraniaya. Padahal negeri dengan populasi jumlah penduduk terbesar nomer empat di dunia (setelah Cina, India dan AS) ini memiliki potensi sumber daya pertanian dan kekayaan mineral yang sangat melimpah.


Mengapa semua ini terjadi ? Jika ditelaah secara jernih, semua persoalan yang tengah dihadapi Indonesia dan belahan Dunia Islam lainnya berpangkal pada penerapan sistem sekular-kapitalis dan tidak adanya kedaulatan syariah. Dengan kata lain, sistem Islam tidak diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Inilah akar berbagai persoalan ikutan seperti kemiskinan, kebodohan, korupsi, kerusakan moral, kezaliman, disintegrasi serta penjajahan dalam segala bentuknya.


Sejak kemerdekaan hingga saat ini, sekularisme ( keyakinan yang menolak campur tangan agama dalam kehidupan ) mengatur Indonesia, terlepas dari siapapun yang berkuasa. Syariah Islam yang berasal dari Zat Yang Maha Pengatur tidak pernah diterapkan sejak negeri ini merdeka. Akibatnya, rakyat Indonesia terus-menerus hidup dalam krisis yang tidak berkesudahan. Indonesia, dengan sistem sekularnya, terbukti gagal mengantarkan rakyat ( warga negara ) pada kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan. Inilah fakta dan keniscayaan dari sebuah sistem yang rusak, yang bersumber dari akal dan hawa nafsu manusia.


Di Indonesia, sistem sekular yang mencampakkan syariah Allah ini tidak pernah sungguh-sungguh mendapatkan dukungan dari umat. Sebabnya, ia kontradiksi dengan akidah umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini.

Rahasia Kejayaan

Agar Indonesia maju, bagi umat Islam tidak ada pilihan kecuali kembali pada rahasianya, yaitu penerapan sistem ( syariah ) Islam secara kâffah. Islam harus menjadi ideologi yang melandasi semua bentuk interaksi kehidupan sosial, baik dalam negeri maupun luar negeri. Syariah Islam telah menyiapkan negara dengan ditopang oleh sejumlah struktur yang diperlukan, di antaranya adanya khalifah ( kepala negara ), para mu’âwin ( pembantu khalifah ), para wali ( kepala daerah ), hingga para dhi ( hakim ), petugas administrasi dan majelis umat.


Dalam sistem ekonomi Islam, terdapat berbagai ketentuan syariah yang berkaitan dengan tanah, kepemilikan, industri, perdagangan dalam dan luar negeri dan sistem lainya. Semua itu menjadi perangkat penting untuk menjamin terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan.


Lalu terkait dengan politik luar negeri, ada ketentuan syariah mengenai kewajiban untuk membangun tentara yang kuat, bukan berdasarkan konsep tipuan Barat, yakni “minimum deterrence” ( pertahanan minimal ). Konsep ini hanyalah dimaksudkan untuk mematikan kekuatan militer Dunia Ketiga, khususnya Dunia Islam, dan demi melanggengkan kekuasan Barat atas negeri-negeri jajahannya.


Islam, dengan seperangkat konsepnya yang lengkap dan mudah diterapkan, akan menjadikan Indonesia berdaulat atas seluruh kekayaan dan potensi melimpah yang dimilikinya. Dengan menerapkan syariah Islam, Indonesia tidak akan menjadi negara yang mengabdi pada kepentingan asing, mengatur rakyatnya dengan undang-undang ataupun konsensus pihak asing ( misal: Konsensus Washington ) yang liberal dan menjadikan rakyat “ kere ” di negerinya sendiri yang subur, persis seperti pepatah: seperti unta yang mati karena kehausan, padahal ia memikul air di punggungnya.


Yang pasti, Allah SWT sudah jauh-jauh hari mengingatkan umat ini atas sikap abainya terhadap penerapan syariah Islam:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى (١٢٤

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan pada Hari Kiamat nanti Kami akan membangkitkannya dalam keadaan buta (QS Thaha [20]: 124).

Syariah dan Khilafah: Jalan Baru Indonesia

Setelah Sosialisme ambruk, Kapitalisme-liberalisme yang sekarang diterapkan pun gagal total dalam memajukan negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia, maka tentu tidak ada jalan lain bagi kaum Muslim kecuali kembali pada syariah Islam. Indonesia akan bangkit dan maju hanya dengan menerapkan syariah Islam ini secara kâffah. Inilah yang berkali-kali diingatkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia, termasuk saat peluncuran “ Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia yang Lebih ” di Jakarta beberapa waktu lalu, dan serentak dilaksanakan di seluruh daerah di Indonesia dalam pekan-pekan terakhir ini.


Singkatnya, dengan Manifesto-nya, Hizbut Tahrir kembali mengingatkan bahwa umat Islam dan manusia secara keseluruhan hanya akan kembali dapat menikmati kehidupan yang adil, damai, dan sejahtera dalam naungan ridha Allah SWT dengan cara menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam sebuah negara yang diwariskan oleh Rasulullah saw., yakni Khilâfah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah. Yang terpenting, hanya dalam Khilafah yang menerapkan syariah secara kâffah umat Islam dapat merealisasikan ketundukan, ketaatan dan kepasrahannya secara total kepada Allah SWT. Bersamaan dengan itu, Indonesia terus berusaha menyiapkan kemampuan diri untuk memimpin bangsa-bangsa lain di seluruh dunia, menjadi negara yang berpengaruh dan disegani serta bisa membawa dunia ini dalam naungan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, insya Allah. []


Komentar al-Islam:


Menkeu Sri Mulyani yakin, ekonomi Indonesia tumbuh 7 persen pada 2011 (Koran Tempo, 16/6/2009).


Begitulah negara kapitalis, hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi dan selalu abai terhadap pemerataan ekonomi.


Sumber : Klik Disini

Klik disini untuk melanjutkan »»

Sunday, May 31, 2009

Umat Membutuhkan ‘Ulama Akhirat’

. Sunday, May 31, 2009
0 comments

[Al-Islam 457] Pemilihan Presiden dan Wapres (Pilpres) 2009 akan digelar tidak lama lagi setelah pengumuman tiga pasangan capres-cawapres dalam beberapa pekan terakhir. Berbagai strategi dan cara digelar untuk meraih kemenangan. Yang menarik, setiap pasangan capres-cawapres merasakan kebutuhan dukungan dari ‘penguasa non-formal’ yang ada di tengah-tengah masyarakat. Mereka adalah para ulama, kiai, tuan guru, tengku dan tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh. Setiap menjelang Pemilu, termasuk Pilpres kali ini, mereka sering kedatangan tamu tim sukses pasangan capres-cawapres, atau bahkan langsung pasangan capres-cawapresnya.


Di sisi lain, ada sebagian orang dengan julukan kiai atau ulama bertandang ke kediaman pasangan capres-cawapres. Ada pula yang bertemu di luar ‘kandang’ masing-masing dengan cara menggelar satu acara atau agenda yang bertajuk ‘keumatan’. Pada pertemuan-pertemuan tidak resmi di tengah-tengah jamaah para kiai/ulama tidak jarang “pesanan politik” juga disampaikan. Targetnya tentu saja adalah menjajaki dukungan para tokoh umat ini, dan tentu dengan kompensasi.


Akibat dukung-mendukung capres-cawapres ini, tidak jarang hubungan silaturahmi menjadi renggang hanya karena masing-masing berbeda visi dan dukungan politiknya. Masing-masing pasangan saling mengklaim bahwa mereka pro-rakyat, sementara pasangan lain pro-asing (dengan julukan neoliberal). Padahal sebenarnya semua pasangan adalah pengusung liberalisme, hanya dengan kadar yang berbeda-beda. Ini adalah fakta yang tentu sangat memprihatinkan. Umat menjadi bingung dengan arah politik para ulama dan kiai mereka. Pasalnya, masing-masing kiai/ulama memiliki tujuan politik yang semuanya bisa dikemas dengan bungkus dalil agama. Sebagian kiai/ulama itu seolah menjadi makelar dagangan yang bernama “tahta”. Mereka mengabaikan fungsi, tugas dan tanggung jawab yang sesungguhnya dalam kehidupan sosial-politik.


Lantas apakah yang perlu direnungkan oleh ulama dan umatnya terkait dengan pemilihan pemimpin saat ini? Bagaimana tanggung jawab ulama dalam kehidupan politik dan bernegara? Sejauh mana peran dan fungsi ulama dalam proses perubahan menuju Indonesia yang bersyariah, yang baldat[un] thayyibat[un] warabb[un] ghafûr?


Sekularisme: Ancaman Terbesar

Peran ulama sepanjang masa kehidupan kaum Muslim, khususnya dalam kehidupan politik, sangatlah penting. Bahkan pada masa-masa kemunduran umat Islam sekalipun, peran penting ulama dalam kehidupan politik tetap tidak tergantikan. Pasalnya, Islam memang tidak memisahkan antara kehidupan politik dan spiritual, bahkan saat umat jatuh dalam kubangan sekularisme (yang menjauhkan agama dari urusan sosial-politik-kenegaraan) saat ini, yang berdampak pada terpinggirkannya para ulama. Ulama masih memiliki tempat tersendiri dalam pribadi umat dengan berbagai alasan. Karena itu, para penguasa atau calon penguasa selalu berusaha untuk meraih dukungan mereka.


Di sisi lain, ada sebagian kiai/ulama yang merespon persoalan politik kekinian (seperti Pilpres 2009) dengan memberikan panduan kepada umatnya. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi, misalnya, menyatakan bahwa pemimpin kaum Nahdliyyin memberikan dua syarat untuk calon presiden mendatang. Menurutnya, syarat pertama, calon presiden itu harus menyelamatkan agama, dan syarat kedua, calon presiden tidak membawa agenda neoliberalisme.


Pandangan dan sikap yang disampaikan oleh KH Hasyim Muzadi sebagai pimpinan kaum Nahdliyyin ini sangatlah penting untuk memberikan wawasan kepada jamaahnya agar di Pilpres bulan Juli nanti mereka tidak salah memilih (Eramuslim.com).


Sayang, pandangan dan sikap ini tidak menyentuh “sistem politik” yang tegak saat ini. Padahal menyelamatkan agama sejatinya adalah dengan menegakkan akidah dan syariah Islam dalam semua aspek kehidupan mereka, baik di ranah pribadi maupun ranah sosial-politik-kenegaraan. Semua ini tentu tidak bisa diwujudkan dalam sistem politk sekular saat ini. Sebaliknya, keselamatan agama menuntut adanya institusi negara yang menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan.


Lagipula, masalah kepemimpinan sesungguhnya terkait dengan dua faktor: sosok pemimpin dan sistem kepemimpinan yang digunakannya. Jika panduan untuk memilih pemimpin ini hanya terkait dengan sosok pemimpinnya saja, tentu hal demikian telah mengabaikan sama sekali sistemnya (yakni sistem sekular) yang justru gagal menyelamatkan agama dari pengebirian perannya sekadar sebatas penjaga moral belaka. Dalam sistem sekular saat ini, peran agama sebagai solusi atas seluruh problem kehidupan malah disingkirkan jauh-jauh. Sistem sekular ini pun sekaligus menjadi payung bagi tegaknya neoliberalisme/liberalisme dalam berbagai aspek kehidupan umat.


Karena itu, kesadaran akan bahaya sekularisme ini harus ada di benak para ulama. Singkat kata, ulama harus mulai menyadari bahwa sistem sekular inilah yang harus terlebih dulu disingkirkan dan digantikan dengan sistem Islam, yakni sistem yang menegakkan syariah Islam, sebelum umat ini benar-benar diarahkan untuk memilih pemimpinnya. Jika hal ini tidak dilakukan, siapapun pemimpin yang terpilih, yakinlah, mereka hanya akan semakin mengokohkan sistem sekular ini. Akibatnya, harapan untuk menyelamatkan agama sekaligus menjauhkan neoliberalisme akan menjadi tinggal harapan, tidak akan pernah mewujud dalam kenyataan. Pasalnya, justru sekularismelah ancaman yang sebenarnya terhadap keselamatan agama, dan sekularisme pula yang sekaligus menjadi pintu yang sangat lebar bagi masuknya neoliberalisme.


Peran dan Tanggung Jawab Ulama

Ulama adalah pewaris para nabi. Apa yang diwariskan oleh para nabi tentu tidak akan digadaikan dengan apapun, meski dengan seluruh isi bumi dan langit ini. Tentu karena para ulama adalah orang-orang yang memiliki rasa takut kepada Allah SWT. Atas dasar iman dan ilmunya, ulama akan senantiasa berjuang membimbing umat untuk senantiasa hanya menghamba kepada Allah SWT secara total. Penghambaan secara total itu harus dibuktikan dengan cara menjalani dan menata hidup ini sesuai dan tuntunan (baca: syariah Islam) yang dibawa oleh Rasulullah saw., baik dalam kehidupan politik maupun spiritual, seraya berharap keridhaan Allah SWT sebagai tujuan paling puncak.


Karenanya, ulama harus menjadi penyambung lidah umat di hadapan para penguasa. Ulama harus menjadi pembimbing mereka menuju kepemimpinan yang mulia dengan Islam. Sebab, mereka semua adalah hamba-hamba Allah SWT yang juga merindukan surga.


Namun demikian, fungsi ulama akan pudar dan tertutup dengan sikap dukung-mendukung calon pemimpin tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara syar’i. Selain itu, dukungan ulama sejatinya hanya diberikan kepada mereka yang mau menegakkan akidah dan syariah Islam secara kâffah, bukan kepada mereka yang akan melanggengkan sekularisme yang nyata-nyata selalu menjadi ancaman bagi keselamatan agama dan menjadi pintu masuk bagi bercokolnya neoliberalisme.


Di sisi lain, para pemimpin atau calon pemimpin harus dekat dengan ulama semata-mata demi meminta bimbingan menuju ridha Allah SWT, dan bukan demi ‘membeli’ ulama sekadar untuk meraih atau melanggengkan kekuasaan.


Umat hari ini merindukan sosok ulama yang ikhlas berjuang dengan pengorbanan maksimal agar bisa mengeluarkan mereka dari kegelapan jahiliah modern, derita dan nestapa dalam kerangkeng sistem sekular-liberal; menuju cahaya Islam dalam wujud masyarakat dan negara yang bersyariah, yang berjalan di atas hidayah Islam. Itulah masyarakat dan negara yang pernah dicontohkan oleh Baginda Rasulullah saw. dan dilanjutkan oleh para khalifah beliau.


Sifat-sifat Ulama

Karena itu, ulama harus memiliki sejumlah sifat dan karakter khas, antara lain: Pertama, senantiasa berzikir kepada Allah dalam semua keadaan. Allah SWT berfirman:

]الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ[

Mereka adalah orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadan berbaring (QS Ali Imran [3]: 191).

Kedua, menjauhi penghambaan kepada thâghût. Allah SWT berfirman:

]وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَنْ يَعْبُدُوهَا[

Mereka adalah orang-orang yang menjauhi thâghût, yaitu tidak menghambakan diri kepadanya (QS az-Zumar [39]: 17).

Ketiga, senantiasa bertobat (kembali) kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:

]وَأَنَابُوا إِلَى اللَّهِ[

Mereka senantiasa kembali kepada Allah (QS az-Zumar [39]: 17).

Keempat, selalu menghubungkan apa saja yang diperintahkan oleh Allah untuk dihubungkan seperti silaturahmi, loyal kepada sesama Mukmin, mengimani semua nabi dan menjaga semua hak manusia. Allah SWT berfirman:

]وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ[

Mereka adalah orang-orang yang senantiasa menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan untuk dihubungkan (QS ar-Ra’d [13]: 21).

Seorang ulama pasti lebih suka berdekatan dengan seorang Muslim yang taat daripada dengan mereka yang selalu memusuhi umat Islam. Ulama pun akan menjadi perekat umat, pionir ukhuwah islamiyah, dan tidak mungkin menjadi pemecah-belah umat.

Kelima, memiliki rasa takut kepada Allah dan keagungan-Nya, sebagaimana firman-Nya:

]وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ[

Mereka selalu takut kepada Tuhannya (QS ar-Ra’d [13]: 21).

Ulama hakiki akan memiliki rasa takut yang luar biasa kepada Allah. Dia akan lebih mudah menangis daripada tertawa terbahak-bahak. Tampak keanggunan dan kewibawaannya karena kekhusyukan yang memancar dalam dirinya.

Keenam, takut terhadap keburukan Hari Penghisaban, sebagaimana firman-Nya:

]وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ[

Mereka senantiasa takut pada hisab yang buruk (QS ar-Ra’d [13]: 21).

Rasa takut ini tercermin dalam ucapan dan semua perbuatannya untuk selalu menjauhi semua larangan Allah.

Ketujuh, memiliki kesabaran dalam menghadapi semua beban, kesulitan dan musibah di dunia serta senantiasa menentang kehendak hawa nafsu. Allah SWT berfirman:

]وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ[

Mereka adalah orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya (QS ar-Ra’d [13]: 22).

Semua perintah Allah adalah kewajiban dan beban yang harus dilaksanakan dengan penuh kesabaran. Demikian juga dengan musibah.


Umat Membutuhkan ’Ulama Akhirat’


Sebagaimana dimaklumi, kewajiban terbesar umat Islam hari ini adalah mengembalikan kehidupan Islam di tengah-tengah masyarakat dengan menegakkan seluruh syariah Allah SWT. Sebaliknya, kemungkaran terbesar yang wajib ditumbangkan saat ini adalah sistem thâghût yang menerapkan hukum-hukum kufur buat manusia. Itulah sistem sekular yang tengah berlangsung saat ini.


Karena itu, saat ini umat benar-benar membutuhkan ’ulama akhirat’ yang bisa membimbing mereka untuk kembali pada Islam secara kâffah sambil terus-menerus memberikan dorongan dan dukungan terhadap perjuangan ke arah penegakkan syariah Islam. Umat membutuhkan ulama yang meneladani perjuangan Rasulullah saw. dalam mewujudkan masyarakat islami, yang menerapkan syariah Islam secara total dalam semua aspek kehidupan, dalam Daulah Khilafah. Hanya dengan itulah cita-cita umat mewujudkan baldat[un] thayyibat[un] warabb[un] ghafûr akan benar-benar terwujud, insya Allah.


Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []


KOMENTAR:

Rakyat jangan berharap banyak pada Parlemen baru (Kompas, 26/5/2009).

Memang, karena mereka hanya akan mengokohkan sekularisme.

Klik disini untuk melanjutkan »»

Thursday, May 21, 2009

Ekonomi yang Bedaulat dan Pro Rakyat

. Thursday, May 21, 2009
0 comments

[Al-islam 456] Mengawali Pemilu Presiden (Pilpres) 2009 ini ada isu penting yang diusung pasangan capres-cawapres, yakni isu ekonomi. Dalam visi-misi pasangan capres-cawapres terlihat jelas masalah ekonomi mendapat porsi khusus.


Pasangan SBY-Boediono (sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Boediono), misalnya, mengatakan tidak akan menyerahkan perekonomian kepada pasar bebas. Akan ada campur-tangan negara, meski tidak boleh terlalu jauh, karena hal itu akan mematikan sektor swasta.


Namun, masih hangat dalam ingatan kita, pada tahun 1996-1998, ketika Boediono menjabat sebagai Direktur I BI urusan analisa kredit, terkucurlah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 400 triliun. Kemudian ketika Boediono menjadi Kepala Bappenas, dalam masa itu terkucurlah dana rekap perbankan Rp 600 tirliun. Ironisnya, para obligor BLBI justru diberikan Release and Discharge alias dibebaskan dari masalah hukum. Akhirnya, rakyatlah yang harus membayarnya hingga tahun 2032. Kita juga tidak lupa, tahun 2001-2004 ketika Boediono menjadi Menkeu, keluarlah kebijakan privatisasi dan divestasi yang ugal-ugalan. Banyak aset strategis yang dilego: Indosat, BCA, dll.


Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto berkomitmen membangun ekonomi kerakyatan. Di depan Kadin Indonesia, JK berjanji akan mewujudkan ekonomi mandiri, dalam pengertian ekonomi yang memberdayakan seluruh kekuatan bangsa, terlepas dari ketergantungan asing (Republika, 19/5/209).


Namun, kita pun tahu, selama pemerintahan SBY-JK, JK dianggap berperan banyak dalam mengarahkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang juga tak kalah liberalnya, seperti menaikkan harga BBM di atas 100 persen yang jelas-jelas membebani rakyat.


Adapun pasangan Megawati-Prabowo sepakat untuk membangun ekonomi kerakyatan. Bahkan pasangan ini sudah berbagi tugas, Prabowo ditugaskan menangani masalah perekonomian untuk fokus membangun ekonomi kerakyatan dan kebangkitan ekonomi rakyat (Kompas, 19/5/2009).


Namun, kita pun tidak mungkin lupa, pada masa kepemimpinan Megawati pula, aset-aset negara banyak dijual atas nama privatisasi.


Semua pasangan memang mengedepankan isu ekonomi. Namun menurut Prof. Dr. Adi Sulistyono, apa yang mereka sampaikan masih sebatas wacana. Belum ada penyampaian solusi nyata untuk mengatasi persoalan ekonomi bangsa ini (Kompas, 18/5/2009).


Begitu pula janji mewujudkan ekonomi yang mandiri dan berdaulat. Janji itu juga masih terlihat sekadar janji kosong. Pasalnya, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa utang, khususnya utang luar negeri, adalah pintu masuk bagi campur tangan asing untuk menyetir perekonomian negeri ini.


Nah, sampai saat ini belum ada pasangan yang secara tegas bertekad untuk menutup pintu itu. Sepanjang pemerintahan SBY-JK saja, utang luar negeri Indonesia bertambah rata-rata Rp 80 triliun pertahun. Artinya, selama kepemimpinan SBY-JK, hanya dalam lima tahun, utang Indonesia bertambah kurang-lebih Rp 240 triliun. Angka penambahan jumlah utang rata-rata ini mengalahkan utang pada era Orde Baru, yakni Rp 1.500 triliun dalam jangka 32 tahun atau sekitar Rp 46,875 triliun pertahun (Kau.or.id, 9/4/2009).


Padahal mewujudkan ekonomi yang berdaulat dan mandiri meniscayakan penghentian campur tangan asing. Langkah pertamanya adalah menutup pintu masuknya campur tangan asing itu, yaitu utang luar negeri. Baru setelah itu campur tangan asing yang sudah terlanjur masuk dibereskan dan dibersihkan. Jika langkah ini belum diupayakan, jangan berharap ekonomi berdaulat dan mandiri bisa diwujudkan. Akhirnya, semua yang dikampanyekan oleh para capres-cawapres seputar kemandirian ekonomi hanya akan menjadi pepesan kosong.


Apalagi bangunan hukum yang menjadi pondasi dan pemandu perekonomian negeri ini memang sudah bercorak liberal. Hal itu seperti yang terwujud dalam berbagai undang-undang berbau liberal seperti UU SDA, UU Penanaman Modal, UU Migas dan UU yang mengamanatkan privatisasi (penjualan aset negara, khususnya kepada pihak asing) dan sebagainya. Karena itu, untuk membangun ekonomi yang tidak lagi berhaluan neoliberal, bangunan hukum yang bercorak liberal itu harus dihilangkan. Sebagai gantinya dibuat bangunan hukum yang menjadi pondasi sistem perekonomian baru. Itulah sistem ekonomi Islam.


Hanya dengan Sistem Ekonomi Islam

Kesejahteraan bagi seluruh rakyat sangat dipengaruhi oleh distribusi (penyebaran) kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Kesejahteraan yang merata akan terus menjadi mimpi dalam sistem ekonomi Kapitalisme. Pasalnya, Kapitalisme dibangun di atas asumsi dasar, bahwa persoalan utama ekonomi adalah kelangkaan barang dan jasa. Solusinya adalah produksi, bukan distribusi. Konsekuensinya, yang menjadi fokusnya adalah pertumbuhan ekonomi, bukan pemerataan ekonomi.


Selain itu, kesejahteraan juga berkaitan dengan pengaturan kepemilikan secara tepat. Kesejahtaraan juga terus menjadi mimpi jika berusaha diwujudkan melalui ideologi dan sistem ekonomi Sosialisme yang dibangun di atas ide dasar pemberangusan kepemilikan individu.


Kesejahteraan yang merata hanya akan bisa diwujudkan melalui ideologi dan sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam dibangun di atas ide dasar bahwa masalah utama ekonomi terkait dengan distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Distribusi ini erat kaitannya dengan konsep kepemilikan. Untuk itu, Islam mengatur kepemilikan yang membenarkan kepemilikan individu dan mengaturnya sehingga individu tetap bisa memiliki harta dan terdorong untuk memproduksi dan mendapatkan harta. Islam juga mengatur kepemilikan dengan menetapkan harta-harta tertentu seperti fasilitas umum serta barang tambang yang melimpah, hutan, laut, sungai dsb sebagai milik umum. Dalam hal ini, seluruh rakyat berserikat atas kepemilikan harta itu dan berhak mendapatkan manfaatnya. Harta milik umum itu diserahkan pengelolaannya kepada negara mewakili rakyat. Seluruh hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat baik dalam bentuk produknya, atau dalam bentuk pelayanan mulai kesehatan gratis, pendidikan gratis, pembangunan jalan, infrastruktur dan fasilitas umum lainnya. Semua itu bisa dibiayai dari hasil pengelolaan harta kekayaan milik umum itu. Ketika pendidikan, pelayanan kesehatan serta berbagai pelayanan dan fasilitas umum itu dijamin oleh negara dan bisa diakses oleh seluruh rakyat, Muslim maupun non-Muslim, maka jelas hal itu sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat pada umumnya.


Sebaliknya, hal itu mustahil bisa diwujudkan dalam sistem Kapitalisme sekarang. Pasalnya, sebagian besar sumberdaya alam—yang menjadi sumber utama pemasukan negara untuk membiayai semua kebutuhan rakyat—sering malah dijual kepada pihak asing atas nama privatisasi yang telah diamanatkan undang-undang. Itulah yang terjadi di Indonesia saat ini


Selain itu, untuk mewujudkan ekonomi yang pro-rakyat jelas penciptaan lapangan kerja menjadi sangat penting. Dalam sistem Islam hal itu bisa diwujudkan melalui pembangunan berbagai infrastruktur, pengelolaan dan pemeliharaan fasilitas dan pelayanan umum. Lapangan kerja akan lebih banyak terbuka lagi oleh individu/swasta dengan bisnis atau usaha yang dijalankannya. Karena itu, penciptaan iklim usaha yang bagus juga sangat penting. Di sinilah pentingnya ada bangunan hukum dan sistem politik yang selaras. Iklim usaha yang bagus akan terwujud jika birokrasinya sederhana, tidak berbelit dan tidak dihambat dengan berbagai macam pungutan. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam an-Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm halaman 211 menyatakan, bahwa dalam Islam politik administrasi/birokrasi instansi didasarkan pada prinsip: sederhana dalam sistem/aturan, kecepatan menyelesaikan aktivitas dan profesionalisme pelaksananya. Ini merupakan bentuk ihsân dalam beraktivitas yang dituntut oleh syariah. Rasul saw. bersabda:

«إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ»
Sesungguhnya Allah menetapkan ihsan atas segala hal (HR Muslim).

Dalam sistem Islam, para pelaku usaha juga tidak akan dibebani dengan berbagai macam pungutan (pajak, retribusi dan pungutan lainnya). Rasul saw. pernah bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
Tidak akan masuk surga orang yang memungut cukai (HR Abu Dawud, Ahmad dan ad-Darimi).

Para pedagang warga negara juga terbebas dari pungutan cukai dalam segala bentuknya, termasuk ketika melakukan kegiatan ekspor-impor. Jelas ini akan menggairahkan perdagangan. Lalu rakyat yang mengalami kesulitan berusaha akan dibantu oleh negara dalam bentuk bantuan modal, peralatan, fasilitas dan sebagainya. Islam telah menetapkan sistem yang menjadikan negara mampu melakukan hal itu karena Islam menetapkan harta-harta tertentu sebagai milik negara sehingga negara memiliki cukup biaya untuk itu.


Dengan semua itu, ekonomi riil akan bergerak sehingga bisa mewujudkan pertumbuhan ekonomi sekaligus kesejahteraan secara nyata.


Semua itu tidak akan direcoki oleh naik-turunnya suku bunga karena Islam mengharamkan riba. Dengan itu akan terwujud kemandirian ekonomi yang meratakan kesejahteraan. Campur tangan asing melalui utang luar negeri pun akan pupus. Sebab, utang luar negeri seperti dalam bentuknya sekarang ini dalam pandangan Islam jelas haram. Selain mengandung riba, utang lur negeri juga bisa menjadi jalan bagi orang kafir menguasai kaum Mukmin. Semua itu jelas haram.


Dengan menerapkan semua kebijakan di atas, seluruh rakyat, Muslim maupun non-Muslim, akan bisa merasakan kehidupan ekonomi yang baik dan stabil. Semua orang bisa merasakan kesejahteraan. Kekayaan mereka pun akan terjaga dari gerusan penurunan nilai mata uang karena mata uang negara dalam Islam harus berbasis emas dan perak. Sejarah telah menunjukkan mata uang emas dan perak bisa menjaga nilai kekayaan masyarakat.


Wahai Kaum Muslim:

Selama sistem yang dipakai adalah Kapitalisme, kemandirian ekonomi dan kesejahteraan rakyat akan terus menjadi mimpi. Ekonomi yang berdaulat/mandiri dan pro-rakyat jelas hanya akan bisa diwujudkan dengan sistem Islam. Caranya adalah dengan penerapan sistem ekonomi Islam yang dijalankan dalam bangunan hukum dan sistem politik Islam secara konsisten.

Karena itu, kita wajib mewujudkan sistem ekonomi Islam yang diterapkan dalam bangunan sistem politik Islam, yaitu Khilafah Rasyidah. Itulah salah satu wujud ketakwaan kita. Dengan itulah harapan semua orang selama ini akan bisa terwujud. Allah SWT berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS al-A’raf [7]: 96).

KOMENTAR AL-ISLAM:

JK (Jusuf Kalla, red.) Tekadkan Kemandirian (Republika, 19/5/2009).

Tegakkan syariah dan Khilafah, insya Allah bangsa ini akan mandiri.


Sumber : Klik Disini

Klik disini untuk melanjutkan »»

Friday, May 15, 2009

Kemungkaran Marak Akibat Syariah Tidak Tegak

. Friday, May 15, 2009
0 comments

[Al-Islam 455] Akhir pekan lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkapkan keprihatinannya atas maraknya kejahatan dan kebejatan moral dewasa ini. Pernyataan keprihatinan itu dikemukakan kepada wartawan di Jakarta oleh KH Amidhan, salah satu ketua MUI, yang didampingi oleh ketua MUI lainnya, yakni KH Nazri Adlani dan KH Umar Shihab.


Menurut KH Umar Shihab, sejak tahun 2005 MUI mengusung tema Taghyîr al-Munkarât (Memberantas Kemungkaran). Menurut KH Nazri Adlani, setidaknya ada dua titik kelemahan yang menjadi penyebabnya. Pertama: Karena UU terhadap kejahatan tersebut hanya bersifat pembatasan semata. Menurut beliau, UU perjudian telah lama ada, namun perjudian dibolehkan jika ada ijin. Peredaran miras di tempat-tempat tertentu ternyata juga dibolehkan. RPH (Rumah Potong Hewan) babi mudah memperoleh ijin dan tidak direlokasi (dipindahkan) walau dekat dengan perkampungan masyarakat Muslim. UU produk halal juga sifatnya masih sukarela. Kedua: penegakkan hukum yang lemah oleh aparat. (Republika, 11/4/2009).


Kejahatan dalam Angka

Keprihatinan MUI sangat beralasan. Pasalnya, kejahatan telah lama menghiasi media cetak dan tv. Di televisi berita kriminal bahkan seolah menjadi ‘acara hiburan’. Sebagaimana acara-acara film/sinetron, berita-berita kriminal kini tidak saja menjadi tontonan, tetapi sekaligus menjadi ’tuntunan’. Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Bimo Nugroho pernah mengungkapkan, 30% kekerasan yang terjadi di masyarakat adalah akibat pemberitaan di tv. Namun, nomor satu penyumbang kekerasan di masyarakat justru acara-acara sinetron (Mediakonsumen.com, 5/12/2006).



Fakta juga berbicara jujur terkait dengan maraknya kemungkaran atau kejahatan ini:


1.    Pornoaksi/pornografi.

Pornoaksi sudah biasa disuguhkan ke hadapan masyarakat di televisi sebagai salah satu menu utama acara-acara hiburan, bahkan dalam tayangan-tayangan iklan. Adapun terkait pornografi, Indonesia sudah sejak beberapa waktu lalu dinilai sebagai ’surga pornografi’ kedua setelah Rusia. Di dunia cyber, menurut Sekjen Aliansi Selamatkan Anak Indonesia, Inke Maris, Indonesia menduduki peringkat ketiga pengakses internet dengan kata seks (Republika, 22/9/2008).


2.    Seks bebas.

Pornografi/pornoaksi tentu memicu kejahatan lain, utamanya seks bebas. Di Indonesia, seks bebas mencapai 22,6%. Ironisnya, sebagian besar dilakukan anak-anak remaja. Seks bebas tentu menaikkan angka kehamilan di luar nikah. Di Indonesia kehamilan remaja di luar nikah karena diperkosa sebanyak 3,2%, karena sama-sama suka sebanyak 12,9% dan ‘tidak terduga’ sebanyak 45% (Indofamily.net, 1/8/2008).


3.    Aborsi.

Akibat langsung dari hamil di luar nikah di kalangan remaja adalah maraknya kejahatan aborsi (pengguguran kandungan). Saat ini di Jawa Barat saja, angka aborsi remaja mencapai 200 ribu kasus pertahun. Secara nasional, jumlah remaja yang melakukan praktik aborsi mencapai 700-800 ribu remaja dari total 2 juta kasus aborsi (Detik.com, 9/4/2009).


4.    Pelacuran.

Secara nasional, berdasarkan data ILO, pada 2002-2006 saja ditemukan sebanyak 165 ribu pelacur. Sekitar 30 persennya atau 49 ribu jiwa adalah anak di bawah usia 18 tahun (Tempointeraktif, 8/2/2007).

Seks bebas dan pelacuran tentu sangat dekat hubungannya dengan kasus HIV/AIDS. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) menyebutkan bahwa seks bebas kini menjadi penyebab utama (55%) dari HIV/AIDS, selain narkoba (42%). (Aids.indonesia.or.id, 5/5/2009).


5.    Penyalahgunaan narkoba.

Kasus penyalahgunaan narkoba juga tak kalah marak. Kasus ini juga banyak melanda kalangan pelajar. Menurut Mangku Pastika, berdasarkan survei BNN 2006, dari 19 juta siswa SMP dan SMA, yang terkena narkoba sebanyak 1,1 juta (Okezone.com, 14/2/2009).


6.    Korupsi.

Sejak tahun 2004, sebanyak 4.348 perkara korupsi telah disidik Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Jurnalnasional.com, 9/12/2008).

Namun, menurut Direktur HAM Bappenas, Diani Sadiawati, hingga tahun 2006, dari jumlah kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, baru satu persen yang berhasil diselesaikan oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK). Menurutnya, saat ini di Indonesia masih terjadi kebocoran dana pembangunan 45-50 persen. Sebagian besar terkait dengan pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah/negara. Padahal dalam APBN/APBD tahun 2007 saja dana untuk pengadaan barang/jasa Pemerintah itu sebesar Rp 230 triliun (Tempointeraktif, 6/12/2006).

Kemungkaran yang Lebih Besar

Selain beberapa contoh di atas, tentu masih banyak kemungkaran atau kejahatan lain seperti pencurian, perampokan, perjudian, penipuan, kekerasan terhadap anak, pembunuhan, tawuran antara kelompok masyarakat, dll.


Namun demikian, semua itu baru merupakan kemungkaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat. Ada kemungkaran yang jauh lebih besar, yakni kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa dan wakil rakyat. Contohnya adalah diberlakukannya sejumlah UU yang merugikan rakyat seperti UU Migas, UU Penanaman Modal dan UU Minerba. Ketiga UU ini berpotensi semakin melepaskan peran negara dalam penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan milik rakyat. Bayangkan, saat ini saja, menurut seorang pengamat ekonomi, migas (minyak dan gas), misalnya, 90%-nya sudah berada dalam kekuasaan asing. Ada juga UU BHP. UU ini berpotensi semakin melepaskan peran dan tanggung jawab negara untuk menyelenggarakan pendidikan murah bagi rakyat. Akibatnya, jutaan anak terancam putus sekolah, tidak bisa sekolah ke tingkat SLTA, apalagi ke Perguruan Tinggi.


Faktor Penyebab

Mengapa semua ini terjadi? Penyebabnya, sebagaimana diungkap oleh KH Nazri Adlani di atas, paling tidak ada dua. Pertama: UU yang lemah. Dalam sistem sekular yang diterapkan oleh negara saat ini, lemahnya UU sebagai produk dari proses demokrasi di Parlemen adalah wajar. Pasalnya, sering UU tersebut merupakan hasil dari tawar-menawar dan kompromi akibat tarik-menarik berbagai kepentingan di kalangan para pembuat hukum (para anggota DPR); entah kepentingan para anggota DPR sendiri, kepentingan partai atau kepentingan pihak-pihak di luar mereka (seperti pengusaha/pemilik modal). Misal: UU Pornografi. Alih-alih ditujukan untuk mencegah dan memberantas pornografi, UU ini terkesan sekadar ’mengatur’ pornografi. Sejumlah pasal bahkan cenderung seperti ’melegalkan’ pornografi/pornoaksi, asal ’atas nama seni/budaya’. Akibatnya, banyak pelaku pornografi/pornoaksi (yang didukung oleh para pemilik modal) malah merasa lebih bebas karena mereka melakukan semua itu atas nama seni/budaya.


Kedua: lemahnya aparat penegak hukum. Misal: Penerapan UU anti korupsi pada pelaksanaannya sering ’tebang pilih’. Kasus-kasus korupsi yang banyak disidik selama ini hanyalah kasus-kasus biasa dan kecil. Itu pun para pelakunya banyak yang bebas setelah menjalani proses pengadilan. Sebaliknya, kasus-kasus besar yang menghabiskan uang negara puluhan triliun rupiah, seperti Kasus BLBI, sampai sekarang tak jelas juntrungnya.


Kedua faktor penyebab di atas sebetulnya hanya faktor sampingan. Penyebab utamanya tidak lain adalah sistem yang mungkar yang diterapkan di negeri ini. Sistem yang mungkar ini (baca: sistem sekular; sistem yang tidak menerapkan syariah Islam) hanya memproduksi hukum-hukum yang lemah dan tak berdaya dalam mencegah berbagai kemungkaran dan kejahatan. Sistem ini pun tidak mampu melahirkan para penguasa dan aparat penegak hukum yang bertakwa kepada Allah SWT. Akibatnya, banyak penguasa atau para aparat penegak hukum—yang seharusnya berfungsi sebagai pemberantas kemungkaran dan kejahatan—justru kemudian menjadi bagian dari orang-orang yang berbuat mungkar dan jahat. Penangkapan sejumlah wakil rakyat, jaksa, pejabat (gubernur, walikota, bupati), bahkan yang terbaru, Ketua KPK, hanyalah secuil contoh. Mereka terjerat baik oleh kasus korupsi, pembunuhan atau perselingkuhan.


Butuh Kekuasaan

Kemungkaran sistem tentu merupakan kemungkaran terbesar. Sebab, dalam sistem yang mungkar seperti saat ini, syariah Islam atau hukum-hukum Allah SWT dicampakkan. Manusia justru membuat hukum sendiri yang terlepas dari hukum-hukum Allah SWT. Padahal Allah SWT telah berfirman:

]إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ[
Membuat hukum itu sesungguhnya hanyalah kewenangan Allah (QS al-An’am [6]: 57).

Karena itulah, sudah saatnya kaum Muslim, khususnya para ulama (terutama MUI), partai-partai Islam, ormas-ormas Islam, juga seluruh komponen umat Islam (dari tingkat penguasa sampai rakyat biasa) segera bahu-membahu menerapkan syariah Islam. Tidak selayaknya kaum Muslim menolak syariah Islam. Tidak sepantasnya partai-partai Islam tidak mau lagi menyuarakan syariah Islam, dengan alasan syariah Islam sudah ’tidak laku’. Pasalnya, penerapan syariah Islam bukan persoalan laku-tidak laku, tetapi karena ia merupakan kewajiban dari Allah SWT. Bahkan Allah telah dengan keras mengecam orang-orang yang enggan berhukum dengan hukum Allah sebagai orang kafir, zalim atau fasik (Lihat: QS al-Maidah: 44, 45 dan 47).


Tidak layak pula jika ada tokoh Islam yang memandang bahwa syariah Islam tidak perlu diterapkan secara formal oleh negara. Pasalnya, sudah terbukti, kemungkaran dan kejahatan semakin meningkat dari waktu ke waktu sebagai akibat tidak diterapkannya syraiah Islam secara formal oleh negara. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:

]وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا[ 
Katakanlah, "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara benar dan keluarkan pula aku secara keluar secara benar, serta berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (QS al-Isra’ [17]: 80).

Saat menafsirkan ayat ini, di dalam tafsirnya Ibn Katsir mengutip pernyataan Qatadah ra., bahwa Nabi saw. menyadari, beliau tidak memiliki kesanggupan untuk mengemban Islam kecuali dengan kekuasaan. Karena itulah, beliau memohon kepada Allah SWT kekuasaan yang bisa digunakan untuk ‘menolong’ (sulthân[an] nashîrâ) Kitabullah, menerapkan hukum-hukum-Nya dan menegakkan agama-Nya. Dikatakan pula, “Sesungguhnya Allah mencegah dengan kekuasaan (sulthân) apa saja yang tidak bisa dicegah dengan al-Quran.” Maknanya, Allah berkehendak dengan kekuasaan itu mencegah manusia dari perbuatan mungkar yang sering tidak bisa dicegah dengan al-Quran yang berisi ancaman yang keras.


Karena itu pula, Allah SWT telah mewajibkan kepada kaum Muslim agar mereka memiliki kekuasan (sulthân) untuk menerapkan Islam. Kekuasan itulah yang disebut dengan Khilafah. Hanya Khilafahlah yang bisa menerapkan syariah Islam. Hanya dengan kekuasaan Khilafah yang menerapkan syariah Islamlah taghyîr al-munkarât (memberantas kemungkaran) bisa secara sempurna dilakukan. Wallâhu a’lam []


KOMENTAR AL-ISLAM:

Nasionalis-Islam Terbaik (terkait capres/cawapres, red.) (Republika, 12/5/2009).

Yang terbaik adalah yang mau menerapkan syariah Islam secara total dalam negara.


Sumber : Klik Disini

Klik disini untuk melanjutkan »»

Thursday, May 7, 2009

ADB, Hutang dan Penjajahan Indonesia

. Thursday, May 7, 2009
0 comments

[Al-Islam 454] Saat pembukaan Sidang Tahunan ke-42 Bank Pembangunan Asia (ADB) di Nusa Dua Bali, Senin (4/5), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerukan pemulihan ekonomi dunia dengan melakukan langkah inovatif (baru) dan tegas. Langkah itu antara lain mendorong lembaga keuangan Internasional menerbitkan produk pembiayaan baru yang disesuaikan dengan kebutuhan di setiap negara (Kompas, 5/5).


Indonesia, sejak bergabung dengan ADB tahun 1966, telah menerima 297 pinjaman senilai 23,5 miliar dolar AS dan 498 proyek bantuan teknis sebesar 276,6 juta doalar AS. Pada periode 2000-2007, rata-rata pinjaman tahunan ADB untuk Indonesia tak kurang dari 700 juta dolar AS. Bahkan pada tahun 2008 ADB mengelontorkan utang sebesar 1,085 miliar dolar AS (Republika, 4/5).


Agenda Sidang Tahunan ADB sejatinya melahirkan satu pertanyaan: Apakah Indonesia bisa sejahtera dengan terus menumpuk utang? Jelas tidak!

Rp 106 Juta Perkepala!

“Tak ada negara yang menjadi sejahtera karena utang,” ujar Gantam Bangyopadhyay dari Nadi Ghati Morcha, yang bekerja untuk masyarakat adat di Chhattisgarh, India. Namun, inilah fakta Indonesia. Penguasanya tidak pernah belajar dari pengalaman. Berutang sudah menjadi bagian dari budaya. Pada akhir pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1966, utang luar negeri Indonesia 2,437 miliar dolar AS. Jumlah ini meningkat 27 kali lipat pada akhir pemerintahan Presiden Soeharto Mei 1998, dengan nilai 67,329 miliar dolar. Pada akhir tahun 2003 utang itu menjadi 77,930 miliar dolar AS. Menjelang akhir tahun 2008—memasuki akhir masa kepemimpinan SBY-JK—utang Indonesia sudah mencapai 2.335,8 miliar dolar. Selain karena penambahan utang baru, hal itu terjadi sebagai dampak langsung dari terpuruknya nilai tukar rupiah terhadap tiga mata asing utama: Yen Jepang, Dolar AS dan Euro. Padahal bulan Juni 2008 utang luar negeri Indonesia masih 1,780 miliar dolar. (Kompas, 24/11/2008).


Konsekuensinya, cicilan utang yang harus dibayar Indonesia tahun 2009 adalah sebesar 22 miliar dolar, sama dengan Rp 250 triliun. Cicilan utang Pemerintah 9 miliar dolar dan cicilan utang swasta 13 miliar dolar. Di antara utang Pemerintah itu, uang luar negeri yang jatuh tempo pada 2009 senilai Rp 59 triliun (Kompas, 24/11/2008).


Cicilan tahun 2009 sebesar itu, kalau kita bagi dengan jumlah penduduk Indonesia (± 230 juta jiwa), sama dengan Rp 1.086.000/jiwa. Jumlah ini masih lebih besar dibandingkan dengan UMR DKI Jakarta sebesar Rp 1.069.865. Kemudian, andai Indonesia mau melunasi seluruh utangnya, maka penduduk negeri ini masing-masing harus membayar Rp 106 juta perkepala!

Bahaya Utang

Beberapa bahaya yang tampak dari kebijakan Pemerintah Indonesia dengan terus menumpuk utang luar negeri bisa dilihat dari dua aspek: ekonomi dan politik.


1. Aspek ekonomi.

Pertama: cicilan bunga utang yang makin mencekik. Apalagi ADB menolak untuk menurunkan bunga pinjaman (saat ini sekitar 1% pertahun dengan masa tenggang 8 tahun dan 1,5% setelah masa tenggang berakhir).


Kedua: hilangnya kemandirian ekonomi. Sejak ekonomi Indonesia berada dalam pengawasan IMF, Indonesia ditekan untuk melakukan reformasi ekonomi—program penyesuaian struktural—yang didasarkan pada Kapitalisme-Neoliberal. Reformasi tersebut meliputi: (1) campur-tangan Pemerintah harus dihilangkan; (2) penyerahan perekonomian Indonesia kepada swasta (swastanisasi) seluas-luasnya; (3) liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi dengan menghilangkan segala bentuk proteksi dan subsidi; (4) memperbesar dan memperlancar arus masuk modal asing dengan fasilitas yang lebih besar (Sritua Arief, 2001).


Di bawah kontrol IMF, Indonesia dipaksa mengetatkan anggaran dengan pengurangan dan penghapusan subsidi, menaikkan harga barang-barang pokok dan pelayanan publik, meningkatkan penerimaan sektor pajak dan penjualan aset-aset negara dengan cara memprivatisasi BUMN.


Pada tahun 1998 saja Pemerintah telah menjual 14% saham PT Semen Gresik kepada perusahaan asing, Cemex; 9,62% saham PT Telkom; 51% saham PT Pelindo II kepada investor Hongkong; dan 49% saham PT Pelindo III kepada investor Australia. Tahun 2001 Pemerintah lagi-lagi menjual 9,2% saham Kimia Farma, 19,8% saham Indofarma, 30% saham Socufindo dan 11,9% saham PT Telkom.


Pada tahun 2007, Wapres Jusuf Kalla mengemukakan bahwa dari 135 BUMN yang dimiliki Pemerintah, jumlahnya akan diciutkan menjadi 69 di tahun 2009, dan 25 BUMN pada tahun 2015 (Antara, 19/2/2007). Artinya, sebagian besar BUMN itu bakal dijual ke pihak swata/asing.


2. Aspek politis.

Abdurrahaman al-Maliki (1963), dalam Kitab As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah al-Mutslâ/Politik Ekonomi Ideal, hlm. 200-2007), mengungkap lima bahaya besar utang luar negeri. Pertama: membahayakan eksistensi negara. Pasalnya, utang adalah metode baru negara-negara kapitalis untuk menjajah suatu negara. Tidak bisa dipungkiri, dulu Inggris tidak menjajah Mesir, Prancis tidak menjajah Tunisia, negara-negara Barat tidak meluaskan penguasaannya atas Khilafah Utsmaniah pada akhir masa kekuasaannya melainkan dengan jalan utang. Akibat utang yang menumpuk, Khilafah Utsmaniyah yang begitu disegani dan ditakuti oleh Eropa selama lima abad akhirnya menjadi negara yang lemah dan tak berdaya.


Kedua: sebelum utang diberikan, negara-negara pemberi utang biasanya mengirimkan pakar-pakar ekonominya untuk memata-matai rahasia kekuatan/kelemahan ekonomi negara tersebut dengan dalih bantuan konsultan teknis atau konsultan ekonomi. Saat ini di Indonesia, misalnya, sejumlah pakar dan tim pengawas dari IMF telah ditempatkan pada hampir semua lembaga pemerintah yang terkait dengan isi perjanjian Letter of Intent (LoI) (Roem Topatimasang, Hutang Itu Hutang, hlm. 9). Ini jelas berbahaya.


Ketiga: membuat negara pengutang tetap miskin karena terus-menerus terjerat utang yang makin menumpuk dari waktu ke waktu. Kenyataan ini sudah sejak lama diakui. Pada tanggal 12 Juli 1962, William Douglas, misalnya, salah seorang hakim Mahkamah Agung Amerika, menyampaikan pidato pada pertemuan Massoni (Freemansory) di Seattle. Dia menjelaskan, “Banyak negara yang kondisinya terus bertambah buruk akibat bantuan Amerika yang mereka terima.” (Al-Maliki, ibid., hlm. 202-203).


Dalam konteks Indonesia, jujur harus diakui, sejak pemerintahan Soekarno hingga SBY, pengelolaan negeri ini melalui hutang luar negeri tidak pernah bisa memakmurkan rakyat. Dengan mengikuti standar Bank Dunia, yakni pendapatan perhari sekitar 2 dolar AS (Rp 20 ribu/hari) maka ada ratusan juta penduduk miskin di Indonesia saat ini. Ironisnya, mereka juga saat ini menanggung utang Rp 106 juta perkepala.


Keempat: utang luar negeri pada dasarnya merupakan senjata politik negara-negara kapitalis kafir Barat terhadap negara-negara lain, yang kebanyakan merupakan negeri-negeri Muslim. Dokumen-dokumen resmi AS telah mengungkapkan bahwa tujuan bantuan luar negeri AS adalah untuk mengamankan kepentingan AS sendiri. Dalam dokumen USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008, misalnya, disebutkan bahwa lembaga bantuan Amerika Serikat ini bersama Bank Dunia aktif dalam proyek privatisasi di Indonesia. Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam News Release yang berjudul, Project Information: State-Owned Enterprise Governance and Privatization Program, tanggal 4 Desember 2001, juga memberikan pinjaman US$ 400 juta untuk program privatisasi (penjualan) BUMN di Indonesia.

Sejahtera Tanpa Utang

Sebetulnya banyak cara agar negeri ini bisa makmur dan sejahtera tanpa harus terjerat utang. Namun, dalam ruang yang terbatas ini, paling tidak ada dua cara yang bisa ditempuh. Pertama: penguasa negeri ini harus memiliki kemauan dan keberanian untuk berhenti berutang. Utang jangan lagi dimasukkan sebagai sumber pendapatan dalam APBN. Penguasa negeri ini juga harus berani menjadwal kembali pembayaran utang. Anggaran yang ada seharusnya difokuskan pada pemenuhan berbagai kebutuahan rakyat di dalam negeri. Cicilan utang harus ditanggguhkan jika memang menimbulkan dharar (bahaya) di dalam negeri. Bahkan bunganya tidak boleh dibayar karena termasuk riba, sementara riba termasuk dosa besar. Allah SWT berfirman:

]وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا[
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba (QS al-Baqarah [2]: 275).

Kedua: penguasa negeri ini harus berani mengambil-alih kembali sumber-sumber kekayaan alam yang selama ini terlanjur diserahkan kepada pihak asing atas nama program privatisasi. Sebab, jujur harus diakui, bahwa pada saat Pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk membiayai APBN secara layak dan terjebak utang, swasta dan investor asing justru menikmati pendapatan tinggi dari sektor-sektor ekonomi yang seharusnya dimiliki bersama oleh masyarakat. Misal: perusahaan Exxon Mobil, yang menguasai sejumlah tambang migas di Indonesia, pada tahun 2007 memiliki penghasilan lebih dari 3 kali lipat APBN Indonesia 2009. Keuntungan bersih Exxon Mobil naik dari 40,6 miliar dolar pada tahun 2007 menjadi 45,2 miliar dolar tahun 2008 (Investorguide.com, Exxon Mobil Company Profile). Ini baru di sektor migas.


Di sektor pertambangan, ada PT Freeport, yang menguasai tambang emas di bumi Papua. Tambang emas di bumi Papua setiap tahun menghasilkan uang sebesar Rp 40 triliun. Sayang, kekayaan tersebut 90%-nya dinikmati perusahaan asing (PT Freeport) yang sudah lebih dari 40 tahun menguasai tambang ini. Pemerintah Indonesia hanya mendapatkan royalti dan pajak yang tak seberapa dari penghasilan PT Freeport yang luar biasa itu (Jatam.org, 30/3/07).


Selain itu, masih banyak sektor lain yang selama ini juga dikuasai asing. Padahal penguasaan kekayaan milik rakyat oleh swasta, apalagi pihak asing, telah diharamkan secara syar’i. Rasulullah saw. bersabda:

«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: padang gembalaan, air dan api (HR Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Sebagai kepala negara, dulu Rasulullah saw. juga pernah menarik kepemilikan atas tambang garam—yang memiliki cadangan dalam jumlah besar—dari sahabat Abyadh bin Hummal (HR at-Tirmidzi). Ini merupakan dalil bahwa negara wajib mengelola secara langsung tambang-tambang yang menguasai hajat hidup orang banyak dan tidak menyerahkan penguasaannya kepada pihak lain (swasta atau asing). Lalu hasilnya digunakan untuk kepentingan rakyat seperti pembiayaan pendidikan dan kesehatan gratis; bisa juga dalam bentuk harga minyak dan listrik yang murah.


Hanya dengan dua cara ini saja, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang didambakan akan terwujud. Syaratnya, penguasa negeri ini, dengan dukungan semua komponen umat, harus berani menerapkan syariah Islam untuk mengatur semua aspek kehidupan masyarakat, khususnya dalam pengelolaan ekonomi. Penerapan syariah Islam secara total dalam semua aspek kehidupan ini tentu tidak akan pernah bisa diwujudkan kecuali di dalam institusi Khilafah Islamiyah. Inilah jalan baru untuk Indonesia yang lebih baik, bukan terus-menerus mempertahankan kapitalisme-sekularisme, tergantung kepada IMF, Bank Dunia, ABD, dan sejenisnya yang  ternyata menjadi alat penjajahan. []


KOMENTAR AL-ISLAM:

KPAN: Seks Bebas: Penyebab Utama HIV/AIDS (Republika Online, 5/5/2009)

Liberalisme: Penyebab Utama Seks Bebas.

Klik disini untuk melanjutkan »»

Wednesday, April 8, 2009

Ingat, Setiap Pilihan Akan Ditanya Oleh Allah !

. Wednesday, April 8, 2009
0 comments


[Al-Islam 450] Pemilu 2009 sudah digelar. Kamis, 9 April 2009, rakyat negeri ini yang mayoritas Muslim serentak melakukan pencontrengan tanda partai/gambar caleg yang menjadi pilihannya, meski sebagian mereka ada yang lebih memilih ‘golput’.


Sejak awal Pemilu 2009 ini diduga bakal rumit. Pemilu 2009 diwarnai oleh sejumlah persoalan: anggaran biaya yang besar; proses pembahasan UU Pemilu yang cukup alot, verifikasi parpol calon peserta yang rumit, pengesahan 38 parpol peserta Pemilu yang demikian banyak (melebihi parpol peserta Pemilu pertama tahun 1955), penetapan jumlah ‘suara terbanyak’ oleh MK untuk para caleg yang menuai perdebatan, serta munculnya sejumlah kasus teknis seperti kemungkinan terlambatnya pasokan logistik Pemilu ke sejumlah derah hingga dugaan adanya manipulasi seputar DPT (Daftar Pemilih Tetap).


Pada hari H pelaksanaan pemungutan suara juga rumit. Bayangkan, pemilih harus membuka kertas suara seukuran halaman satu muka koran yang di dalamnya terdapat daftar 38 parpol dan ratusan nama caleg. Pemilih bisa pusing dibuatnya. Dari sini potensi suara tidak sah menjadi makin besar.


Selain rumit, Pemilu sekarang juga menyimpan potensi ledakan masalah sosial, yaitu ledakan para caleg yang stres atau frustasi karena gagal menjadi anggota legislatif. Bayangkan, di tingkat kabupaten/kota saja, ada 1,5 juta orang bersaing untuk merebut 15.750 kursi DPRD II. Dengan kata lain, dipastikan 1.484.250 orang atau 98,9% caleg DPRD II gagal meraih impiannya. Jika angka itu ditambahkan dengan jumlah para caleg yang gagal duduk di DPRD I dan DPR maka akan ada 1.605.884 caleg di seluruh Indonesia yang berpotensi stres atau frustasi. Pasalnya, mereka sudah mengeluarkan biaya puluhan juta, atau ratusan juta, bahkan miliaran rupiah untuk kampanye Pemilu. Padahal, uang sebesar itu, selain dari sumbangan pihak lain, tidak jarang juga merupakan hasil dari ‘menguras’ harta-bendanya, atau bahkan ngutang sana-sini.


Ini tentu berbahaya. Bahayanya adalah jika para caleg yang gagal tidak bisa menerima kegagalan. Lalu karena frustasi, ia tidak bisa menahan diri dan bahkan melibatkan massa pendukung untuk memprotes KPU, MK atau pihak lain. Pintu chaos bisa saja terbuka. Tentu saja, semua ini tidak diharapkan.


Tanggung Jawab di Akhirat


Tidak sebagaimana rumitnya penyelenggaraan Pemilu dalam sistem demokrasi seperti di atas, sikap seorang Muslim yang seharusnya secara syar’i terhadap Pemilu itu sendiri sebetulnya sederhana. Intinya, setiap pilihan ada hisabnya di sisi Allah SWT, termasuk memilih untuk tidak memilih alias ’golput’. Karena itu, sudah selayaknya setiap Muslim merenungkan kembali pilihannya yang telah ia lakukan saat Pemilu. Kesalahan memilih tidak hanya berakibat di dunia, tetapi juga di akhirat. Akibat di dunia adalah terpilihnya orang-orang yang tidak beriman, tidak bertakwa, tidak amanah dan tidak memperjuangkan tegaknya syariah Islam, bahkan semakin mengokohnya sistem sekular yang nyata-nyata bobrok dan bertentangan dengan Islam. Semakin kokohnya sistem sekular tentu akan semakin memperpanjang kemungkaran. Bukankah dalam sistem sekular hukum-hukum Allah selalu disingkirkan? Semakin kokohnya sistem sekular tentu juga akan semakin memperpanjang penderitaan kaum Muslim. Bukankah sistem sekular memang telah mengakibatkan umat ini terus menderita, justru di tengah-tengah kekayaan mereka yang melimpah-ruah? Adapun akibat di akhirat karena kesalahan dalam memilih tentu saja adalah dosa dan azab dari Allah SWT.


Karena itu, dengan dasar keimanannya kepada Allah SWT, seorang Muslim sejatinya tetap menata dan menyelaraskan setiap perbuatannya, termasuk pilihannya, dengan tuntunan yang datang dari Allah SWT melalui Rasulullah saw. Setiap perbuatan dan pilihan manusia harus terikat dengan syariah. Tentu karena setiap perbuatan/pilihan manusia, sekecil apapun, akan dihisab oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:

]وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ[
Siapa saja yang mengerjakan perbuatan baik, sekecil apapun, ia akan melihat balasan kebaikannya. Siapa saja yang mengerjakan perbuatan buruk, sekecil apapun, ia akan melihat balasan keburukannya (QS al-ZaIzalah [99]: 8).

Dengan demikian, setiap Muslim wajib mengetahui status hukum syariah atas setiap perbuatan/pilihan yang hendak dia lakukan; apakah termasuk haram, wajib, sunnah, makruh atau mubah (halal). Lima tolok-ukur hukum inilah yang harus dijadikan rambu-rambu dalam kehidupan dunianya, bukan yang lain, semisal asas kemanfaatan. Jika asas manfaat yang dijadikan ukuran untuk menetapkan status hukum perbuatan manusia, ini sama saja dengan menjadikan hawa nafsu dan akal sebagai sumber hukum. Sikap demikian jelas batil dan dosa besar di sisi Allah SWT. Sebab, hanya Allahlah Al-Hâkim (Pemilik kedaulatan untuk memberikan status hukum atas setiap perkara), sebagaimana firman-Nya:

]إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ[
Sesungguhnya hak membuat hukum itu hanya ada pada Allah (QS al-An’am [6]: 57).

Lebih dari itu, setiap sikap dan pilihan, termasuk dalam Pemilu, akan dimintai tanggung jawabnya di hadapan Allah SWT kelak:

]أَيَحْسَبُ الإنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى[
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? (QS al-Qiyamah [75]: 36).

Bukan Sekadar Memilih Orang


Terkait dengan Pemilu, dalam satu kesempatan bertepatan dengan Peringatan Maulid Rasul saw. beberapa waktu lalu, Wapres RI Jusuf Kalla pernah menghimbau, ”Pilihlah pemimpin seperti Nabi saw.; pemimpin yang baik perlu untuk memperbaiki legislasi (pembuatan undang-undang, red.).” (Republika, 18/3).


Tentu benar, memilih pemimpin seperti Nabi saw. adalah ikhtiar yang harus kita lakukan. Namun, tentu kita pun harus memilih sistem/aturan yang digunakan oleh Nabi saw. dalam kepemimpinannya. Dalam konteks negara, jika kita benar-benar ingin merujuk kepada Nabi saw., maka kepemimpinan Nabi saw. di Madinah al-Munawwarah—yang saat itu merupakan Daulah Islamiyah (Negara Islam)—itulah yang mesti diteladani dan dijalankan. Saat itu, sebagai kepala Negara Islam, Nabi saw. hanya menerapkan sistem Islam dalam mengatur negara. Dengan kata lain, hanya dengan syariah Islamlah Nabi saw. saat itu mengatur masyarakatnya.


Karena itu, seandainya di negeri ini orang yang terpilih sebagai pemimpin secara moral sangat baik, tetapi sistem/aturan yang mereka jalankan bukan sistem/aturan syariah sebagaimana yang dipraktikkan Nabi saw., tentu beragam persoalan di negeri ini tidak akan pernah bisa diselesaikan. Mengapa? Sebab, sebagai kepala negara, Nabi saw. memimpin dan mengatur masyarakat tidak sekadar dengan mengandalkan akhlak atau moralnya, tetapi sekaligus dengan menerapkan hukum-hukum Allah yang diwahyukan kepadanya.


Yakinlah bahwa perubahan negeri ini ke arah yang lebih baik tidak bisa hanya dengan ‘mengubah’ (mengganti) sosok pemimpinnya, tetapi juga mengubah sistem/aturan yang dijalankannya; yakni dari sistem sekular—sebagaimana saat ini—ke sistem Islam, yang diwujudkan dengan penerapan syariah Islam secara total dalam negara. Hal ini penting karena satu alasan: menerapkan hukum-hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah) bagi umat Islam. Alasan lainnya, karena sistem sekular—dengan demokrasi sebagai salah satu pilarnya—saat ini telah terbukti rusak dan gagal menciptakan kesejahteraan lahir-batin dan keadilan bagi semua pihak. Logikanya, buat apa kita mempertahankan sistem yang telah terbukti rusak dan gagal? Padahal jelas Allah SWT telah menyediakan sistem yang baik, yakni sistem syariah:

]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ[
Sistem hukum Jahiliahkah yang kalian inginkan? Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin (QS al-Maidah [5]: 50).

Jangan Pasif


Tentu bisa dianggap tidak bertanggung jawab atas nasib negeri ini jika dalam menghadapi Pemilu kita hanya duduk manis seraya melipat tangan di dada, tidak berbuat apa-apa demi perubahan. Akan tetapi, tentu tidak bijak pula jika Pemilu seolah dianggap ‘obat mujarab’ yang pasti menghasilkan perubahan ke arah yang lebih baik. Jika yang diinginkan adalah perubahan semu dan sesaat (sekadar pergantian orang-orang yang duduk di struktur pemerintahan dan di DPR), mungkin iya. Namun, jika yang dikehendaki adalah perubahan hakiki dan mendasar (dari sistem sekular ke sistem yang berlandaskan syariah Islam), maka masuk dalam pusaran sistem demokrasi justru sering melahirkan bahaya nyata: pengabaian terhadap sebagian besar hukum-hukum Allah SWT. Pasalnya, demokrasi memang sejak awal menempatkan kedaulatan (kewenangan membuat hukum) berada di tangan manusia (rakyat), bukan di tangan Allah SWT. Akibatnya, hukum-hukum Allah SWT selalu tersingkir, dan hukum-hukum buatan manusialah yang selalu dijadikan pedoman. Inilah yang sudah terbukti dan disaksikan secara jelas di dalam sistem demokrasi di manapun, termasuk di negeri ini.


Karena itu, ‘Pesta Demokrasi’ alias Pemilu (yang sekadar diorientasikan untuk memilih orang) tidak seharusnya melalaikan umat Islam untuk tetap berjuang di dalam mewujudkan sistem kehidupan (pemerintahan, politik, hukum, ekonomi, sosial, pendidikan dll) yang berdasarkan syariah Islam. Umat Islam tidak boleh pasif! Apakah kita akan berdiam diri, tidak membela hukum-hukum Allah SWT yang sudah begitu lama dicampakkan? Bukankah kaum Muslim wajib hidup dengan tuntunan (syariah Islam) yang haq? Jika memang kita sedang berjuang untuk menegakkan syariah Allah SWT dan mengembalikan kehidupan Islam, apakah langkah perjuangan kita sudah benar mengikuti manhaj Rasulullah saw.? Ataukah sikap pragmatis telah menjadi penyakit yang menjangkiti diri kita dalam perjuangan?


Marilah kita merenungkan dengan baik firman Allah SWT berikut ini agar sikap dan pilihan kita tidak melahirkan madarat yang lebih dahsyat, yakni azab-Nya:

]قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا () الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا[
Katakanlah, "Maukah kalian Kami beritahu ihwal orang-orang yang paling merugi karena perbuatannya? Mereka itulah yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat baik.” (QS al-Kahfi [18]:103-104).

Semoga Allah SWT melimpahkan hidayah dan taufik atas umat ini, yang bisa menggerakkan mereka untuk aktif dalam memperjuangkan tegaknya syariah Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Semoga Allah SWT pun selalu membimbing umat ini agar senantiasa menapaki manhaj perjuangan Rasulullah saw., sejak memulai dakwahnya di Makkah hingga berhasil menegakkan Daulah Islam di Madinah, sekaligus menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Amin. []


KOMENTAR:


Presiden SBY: Mengemplang utang luar negeri itu tidak punya harga diri (Koran Tempo, 7/4/2009) Bagaimana dengan tetap menghamba kepada pihak asing dengan terus menambah utang baru?!


Sumber : Klik  Disini

Klik disini untuk melanjutkan »»

Tuesday, March 31, 2009

‘Tragedi Situ Gintung’ Bukti Kelalaian Penguasa

. Tuesday, March 31, 2009
0 comments


[Al-Islam 449] Berita sedih sekaligus perih tiba-tiba kembali menyayat hati kita. Untuk ke sekian kali, suasana duka-lara menyelimuti bangsa ini. Setelah rentetan musibah dan bencana beberapa waktu lalu yang mulai mereda, kita kembali dikagetkan oleh sebuah bencana yang menebarkan kengiluan dan kepiluan yang sama: ‘Tragedi Situ Gintung’.


Ledakan besar menandai ambrolnya tanggul sisi timur Situ Gintung Ciputat, Jumat subuh 27 Maret lalu; menggelentorkan 200 juta meter kubik air danau ke tiga kampung dan perumahan warga di bawahnya. Menurut catatan Depkes, sampai Sabtu malam (28/3), ‘tsunami kecil’ itu telah menewaskan sedikitnya 91 orang, 107 lainnya hilang, 183 rumah hancur lebur dan lima unit mobil rusak parah. “Ini bencana,” tandas Wapres Jusuf Kalla, tatkala meninjau lokasi musibah pada hari kejadian.


Ya. Seperti dikemukakan Ridwan Saidi, penulis buku Bencana Bersama SBY yang diluncurkan pada 11 Maret 2009 di Jakarta, dalam periode kekuasaan SBY-JK yang hampir genap 5 tahun telah terjadi paling tidak 400 bencana alam. Yang terbesar adalah musibah tsunami NAD-Sumut pada 26 Desember 2004, dan gempa DIY-Jateng 27 Mei 2006.


Dalam bukunya Ridwan Saidi menuturkan, rentetan bencana alam yang mengakrabi Indonesia merupakan peringatan dari Allah SWT terhadap bangsa ini yang membiarkan semakin terjadinya kerusakan dan kemaksiatan.


Memang, seperti dikemukakan Presiden SBY, secara alamiah Indonesia adalah negeri yang sangat rawan bencana. Merujuk pada perhitungan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), secara natural 83% wilayah Indonesia berpotensi bencana. Misalnya, gempa bumi dan letusan gunung berapi. Kondisi ini ditambah dengan kenyataan bahwa 2/3 wilayah Indonesia adalah lautan, yang memungkinkan rawan gempa dibarengi intaian tsunami. Sejarah membukukan, sejak 1820 Nusantara sudah diguncang gempa dan tsunami.


Namun, lanjut Walhi, selain karena faktor alamiah, bencana lebih banyak lantaran ulah manusia. Dalam berbagai bencana, faktor alam hanyalah salah satu penyebab dengan proporsi yang kecil. Faktor terbesar justru datang dari ketidakmampuan penguasa dalam mengurus alam serta meremehkan ancaman bencana. Kondisi lingkungan hidup yang semakin rusak menambah percepatan terjadinya bencana.


Dalam situasi seperti itu, tulis Walhi, penguasa tidak melakukan upaya sungguh-sungguh membangun suatu sistem kesiap-siagaan dalam menghadapi bencana. Negara gagal membangun sistem pendidikan yang memasukkan perspektif kerentanan bencana dalam kurikulum; gagal melakukan sosialisasi terhadap ancaman bencana; gagal melindungi lingkungan dari laju kerusakan; dan gagal dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap kegiatan yang potensial menimbulkan bencana ekologis, seperti dalam tragedi ‘Lumpur Lapindo’ di Sidoarjo, Jawa Timur.


Ketidakseriusan Pemerintah dalam mengelola politik dalam negeri, membuat 98% rakyat Indonesia berada pada posisi rentan terhadap ancaman bencana. Lantaran terbodohkan dan termiskinkan, jutaan rakyat hidup melata di pinggiran sungai, lereng gunung, perbukitan, kolong jembatan, pinggir rel kereta api, seputar tempat pembuangan sampah dan berbagai tempat berbahaya lainnya. Mereka berebut tempat dengan kecoa, kelabang, ular, buaya, macan atau gajah yang merupakan pribumi habitat tersebut.


Dalam keadaan seperti itu, sedikit saja terjadi gejala alam seperti gempa atau longsor, ancaman akan berubah menjadi petaka yang merenggut korban jiwa dan harta rakyat.


Tragedi Situ Gintung ini bukti yang ke sekian kalinya. Bendungan yang dibangun Belanda pada 1932 ini, kerusakannya sudah dikeluhkan dan dilaporkan warga sejak 2 tahun lalu kepada Dinas Perairan setempat. Namun, menurut Marwanto, warga Kampung Cirendeu, laporan tak ditanggapi. Bahkan pada November 2008, luberan air Situ pernah terjadi dan segera pula dilaporkan masyarakat, tetapi tetap dianggap sepele saja oleh pemda setempat.


Di sisi lain, lahan hijau penopang keliling Situ terus saja berubah menjadi permukiman dan areal bisnis, sementara kondisi tanggul kian membahayakan lantaran hanya berupa tanah tanpa beton. Hal ini diakui Departemen PU pada 2007, bahwa telah terjadi alih fungsi kawasan Situ se-Jadebotabek; dari total luas 193 situ di Jabodetabek sekitar 2.337,10 hektar, hanya tinggal 1.462,78 hektar saja. Hanya 19 situ yang kondisinya masih baik.


Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Berry Nahdian Forqan, juga mengkritik lemahnya koordinasi antar-Pemda di wilayah Jabodetabek untuk memulihkan kawasan hulu dan wilayah tangkapan air, khususnya untuk kawasan DAS Ciliwung dan Cisadane.


Bahkan dalam tragedi Situ Gintung, terkesan penguasa Banten dan DKI saling lempar tanggung jawab. Penelantaran wilayah perbatasan antar-propinsi seperti kawasan Ciputat ini memang khas Indonesia.


Akhirnya, tidak aneh jika Andre Victhek, novelis dan senior fellow di Oakland Institute Amerika Serikat, dalam tulisannya di The International Herald Tribune dan The Financial Times edisi 12 Februari 2007, menyatakan bahwa bencana beruntun yang menewaskan ribuan orang Indonesia lebih merupakan ‘pembunuhan massal’ ketimbang tragedi bencana alam.


Pemimpin Amanah

Umar bin al-Khaththab ra., saat menjadi khalifah, begitu terkenal dengan kata-katanya yang menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang penguasa agung (al-imâm al-a’zham): “Seandainya ada seekor keledai terperosok di kota Bagdad karena jalan rusak, aku khawatir Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban diriku di Akhirat nanti.”


Demikianlah keagungan Khalifah Umar ra. Jangankan manusia, nasib seekor binatang sekalipun tak luput dari bahan pemikiran, perhatian dan tanggung jawabnya. Khalifah Umar ra. membuktikan ucapannya. Sepanjang sejarah kepemimpinannya, telah banyak riwayat yang menunjukkan betapa tingginya kepedulian beliau terhadap rakyatnya. Beliau, misalnya, setiap malam selalu berkeliling untuk mengontrol keadaan rakyatnya. Beliau tak segan-segan memanggul sendiri gandum di atas pundaknya untuk diberikan kepada seorang janda dan keluarganya saat diketahui bahwa mereka sedang kelaparan. Padahal saat itu beliau adalah seorang penguasa besar dengan kekuasaan yang membentang sepanjang jazirah Arab, Timur Tengah, bahkan sebagian Afrika.


Beliau, dengan penuh kasih-sayang dan tanggung jawabnya, juga pernah membebaskan pungutan jizyah dari seorang Yahudi tua yang miskin dan telah sebatang kara, sekaligus menjamin kehidupannya.


Jika Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. begitu gelisah memikirkan seekor keledai karena khawatir terperosok akibat jalanan rusak, bagaimana dengan para penguasa sekarang? Meski ribuan ruas jalan rusak, bahkan sebagiannya rusak parah, dan telah menimbulkan banyak korban jiwa, para penguasa sekarang seolah tidak peduli. Banyak jalanan rusak tidak segera diperbaiki, seperti sengaja menunggu korban lebih banyak lagi.


Meski banjir sering datang menghampiri, para penguasa juga seperti tak ambil pusing. Hutan-hutan tak segera ditanami, bahkan yang ada terus digunduli; seolah menunggu korban lebih banyak lagi akibat wabah banjir yang tak terkendali.


Demikian pula, meski semburan Lumpur Lapindo telah mengubur sekian desa dan telah berlangsung lebih dari dua tahun, Pemerintah seakan-akan sudah tidak lagi memiliki nurani; membiarkan masyarakat yang menjadi korban menderita lebih menyakitkan lagi.


Ironisnya, janji-jani manis untuk rakyat tetap mereka lontarkan di saat-saat kampanye Pemilu tanpa rasa malu; seolah-olah mereka menganggap rakyat buta dan tuli atas kelalaian, ketidakamanahan, bahkan kelaliman mereka terhadap rakyat selama mereka berkuasa. Mereka tetap percaya diri untuk maju dalam Pemilu demi sebuah mimpi: menjadi penguasa. Mereka seolah tidak peduli dengan sabda Baginda Nabi saw.:


«إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى اْلإِمَارَةِ وَإِنَّهَا سَتَكُونُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً فَنِعْمَتِ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتْ الْفَاطِمَةُ»


Kalian akan berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal kekuasaan itu adalah penyesalan pada Hari Kiamat; nikmat di awal dan pahit di ujung (HR al-Bukhari).


Mereka jauh berbeda dengan Abu Bakar ash-Shiddiq atau Umar bin al-Kththab ra. Diriwayatkan, sebelum diminta menjadi khalifah menggantikan Rasulullah, Abu Bakar ra. mengusulkan agar Umarlah yang menjadi khalifah. Alasan beliau, karena Umar ra. adalah seorang yang kuat. Namun, Umar ra. menolaknya, dengan mengatakan, ”Kekuatanku akan berfungsi dengan keutamaan yang ada padamu, wahai Abu Bakar.” Lalu Umar membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, yang kemudian diikuti oleh para sahabat lain dari Muhajirin dan Anshar.


Dari dialog ini dapat kita pahami bahwa generasi awal Islam, yang terbaik itu, memandang jabatan seperti sesuatu yang menakutkan. Mereka berusaha untuk menghindarinya selama masih mungkin.


Keberatan para Sahabat dulu untuk menjadi pemimpin karena mereka mengetahui konsekuensi dan risiko menjadi pemimpin. Mereka begitu memahami banyak hadis Nabi saw. tentang beratnya pertanggungjawaban seorang pemimpin di hadapan Allah pada Hari Akhirat nanti. Wajarlah jika Umar bin Abdul Aziz sampai mengurung di kamarnya begitu lama seraya menangis sesaat setelah umat membaiatnya menjadi khalifah, meski ia telah berusaha keras menolaknya. Yang selalu menghantui pikirannya tidak lain adalah, betapa beratnya nanti ia mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah SWT di Hari Akhir nanti.


Apalagi Rasulullah saw. jauh-jauh hari telah memperingatkan para penguasa yang lari dari tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat dan tidak bekerja untuk kepentingan rakyatnya, dengan sabda beliau:


«مَنْ وَلاَّهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ»


Siapa saja yang diberi oleh Allah kekuasaan untuk mengurus urusan kaum Muslim, kemudian tidak melayani mereka dan memenuhi kebutuhan mereka, Allah pasti tidak akan melayani dan memenuhi kebutuhannya (HR Dawud).


Dalam sejarah ulama salaf, diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Abdil Aziz dalam setiap shalat malamnya sering membaca firman Allah SWT berikut:


*] احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ (٢٢)مِنْ دُونِ اللَّهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ (٢٣)وَقِفُوهُمْ إِنَّهُمْ مَسْئُولُونَ (٢٤)[


(Kepada para malaikat diperintahkan): Kumpulkanlah orang-orang yang lalim beserta teman sejawat mereka dan sesembahan yang selalu mereka sembah selain Allah. Tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. Tahanlah mereka di tempat perhentian karena sesungguhnya mereka akan dimintai pertanggungjawabannya. (QS ash-Shaffat [37]: 22-24)


Beliau mengulangi ayat tersebut beberapa kali karena merenungi besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat, di hadapan Hakim Yang Mahaagung, Allah SWT. Lalu bagaimana dengan para pemimpin yang tidak amanah saat ini?! Wallâhu a’lam []


KOMENTAR AL-ISLAM:


Sri Mulyani: Dunia Siapkan Sistem Keuangan Baru (Mediaindonesia.com, 31/3/2009).

Selama bukan sistem keuangan Islam, sistem baru itu pasti bermasalah.

Sumber : Klik Disini

Klik disini untuk melanjutkan »»
 

Alexa Page Rank

Site Meter

Info Komputer Pengunjung

IP
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com | Distributed by Blogger Templates